Ditemani hangatnya
siraman cahaya matahari pagi, aku terbangun dari tidur lelapku. Rasa senang dan
penasaran menyelimuti hati kecilku. Bayangkan betapa tak sabarannya semua bocah
ingusan sepertiku. Ya, menunggu hari pertama sekolah, hari pertama masuk TK.
Hari itu tahun 2002 aku tak tahu tepatnya tanggal berapa.
Senang biarlah senang, tapi sifat pemalu ku masih tetap melekat erat di jiwaku.
Begitu masuk kelas... tanpa kusadari aku meneteskan air mata, entah karena
terharu atau ada yang mengejekku? Hanya aku yang tahu, aku penakut. Ibuku terus
menenangkanku dan memaksaku dengan lembut untuk masuk kedalam kelas. Aku pun
menyerah.
Hari demi hari pun kulewati dengan ceria, tepatnya ceria duduk manis di tempat
duduk dan mengunci mulutku rapat-rapat. Ibuku tidak menungguku di sekolah
sampai aku pulang, ibuku datang beberapa menit setelah bel pulang berbunyi.
Semua kujalani denga ceria, benar-benar ceria. Walaupun aku tidak mengerti
ceria apa yang kumaksud.
Suatu hari setelah aku pulang sekolah, dengan baju yang penuh dengan peluh
akhirnya aku pun tertidur lelap di ranjangku. Tak peduli ibuku memarahiku dari
depan pintu kamar. Ya, hari itu sungguh panas, selama perjalan pulang dengan
angkot 12 pun aku terus mengeluh kepanasan. Aku sekarang telah jauh di alam
mimpi, tak peduli ayahku ikut memarahiku, aku menikmati mimpi aneh ku siang
itu. Semua terjadi begitu saja.
Saat senja pun tiba, mewarnai alam dengan cahaya orange bergoreskan
tinta merah. Suara nyiur melambai menghempaskan sebuah jiwa baru di dalam
tubuhku. Aku terbangun, dan kudapati suaraku yang amat serak. Sesekali
aku mengeluarkan dahak, bagaimana kalau ibuku mendengar? Batuk, ya, itu
nama penyakit ini. Kubawa gulingku untuk menutupi suara batukku. Sampai-sampai
kakakku kebingungan melihatku.
Ibuku semakin curiga denganku, dan aku pun tidak mungkin membawa guling
tersebut ke sekolah. Akhinya aku mengaku, “maa, batuk..” wajahku memelas. Ibuku
menceramahiku pagi itu. Dan akhirnya aku terlambat masuk sekolah. Sepulang
sekolah, ibuku mengajakku untuk berobat ke puskesmas dekat sekolah kakakku.
Benar saja, aku mendapatkan satu obat sirup dan dua obat tablet. Dan setelah
makan siang hari itu, aku harus menelannya dengan ceria –aku masih belum
mengerti kenapa aku harus ceria. Ibuku membelah menjadi dua kedua obat tablet
itu dan memberikan sepotong kepadaku, aku hanya menggeleng-geleng takut.
Akhirnya ibuku menumbuk kedua obat tablet itu dan menyiraminya dengan air.
“paitnya gak akan kerasa kok!”. Aku hanya pasrah, dan akhirnya aku meneguknya
dengan cepat. Sekarang aku tidak mengerti arti pahit yang ibuku maksud.
Dua minggu berlalu, obat dari puskesmas pun sudah habis kulahap. Kenyataannya
batukku tidak hilang juga. Akhirnya orang tuaku mengajakku ke dokter THT
(telinga hidung tenggorokan), akhirnya aku minum obat lagi. Kali ini bukan
tablet namun kapsul. Dan lagi-lagi dengan terpaksa aku menelannya. Aku sampai
muntah saat mencoba memaksa kapsul itu masuk tenggorokanku.
3 minggu berlalu, kupikir aku akan sembuh. Namun kehendak-Nya berkata
lain. Batukku semakin parah, orang tuaku sampai tidak bisa tidur karena aku.
Bagaimana lagi, aku tidak bisa tidur di ranjangku karena batukku akan kambuh
bila tidur di ranjangku. Dengan berbaik hati ibuku meminjamkan pangkuannya agar
aku bisa tidur. Beliau duduk tegap sambil terkantuk kantuk –walaupun sebenarnya
beliau ingin tidur di ranjangnya. Teh bagiku serasa pahit, lidahku sepertinya
sudah akrab dengan rasa pahit.
Sampai saatnya aku pindah dari TK-A ke TK-B, batukku masih parah! Dan akhirnya
ayahku membawa keluargaku ke Padang –sekalian mengisi liburan. Ya, liburanku
penuh dengan berbagai pengobatan. Dari Rontgen, tapi aku tidak sembuh
juga. Kemudian tengah malam sekali, aku dibawa pergi ke rumah sakit Suliki
–rumah sakit daerah Padang khusus penyakit tenggorokan. Aku tidak mendapat
kepastian untuk sembuh. Ibuku terlihat sedih dengan keadaanku.
Dan akhirnya kami kembali pulang ke Palembang. Aku sekarang melakukan terapi
setiap harinya. Tanpa putus asa kedua orang tuaku berusaha untuk kesembuhanku.
Namun hasilnya nihil. Aku merasa bersalah, kenapa aku harus sakit seperti ini?
Hanya penyakit sederhana dan tidak terlalu membahayakan saja sampai segininya!
Dan akhirnya ada teman ayahku yang menyarankan agar aku minum jeruk nipis panas
dengan tambahan kecap manis. Ibuku pun tergerak untuk memberikan ramuan itu
tiap malam.
Seminggu berakhir.. hasilnya tetap nol. Ramuan itu pun tidak manjur. Ibuku
terdiam lesu di meja makan. Dinginnya angin malam mendamaikan suasana hatiku,
jaket tebalku tetap tidak bisa melindungiku dari hempasan angin yang kencang,
batukku pun semakin parah. Aku menghampiri ibuku. “ma, jeruk nipisnya
mana?” tanyaku. Ibuku tetap melamun dan menatap kosong jeruk nipis panas yang
dicampur kecap manis yang baru saja dibuatnya. Ibuku menatapku sesaat dan
mengambil mangkuk kecil berisi ramuan sederhana itu. Ia menyuapiku perlahan
dengan sendok kemudian mengacak-acak rambutku sambil berbisik “cepat sembuh ya,
nak!” –senyuman itu tak pernah kulupakan, sampai sekarang aku berdiri disini.
Ditemani pagi hari yang cerah bermandikan sinar biru bercahaya. Senyuman bodoh
terukir di wajahku. Sebuah anugrah untuk sembuh telah diberikan-Nya. Tidak
secara langsung, namun bertahap. Agar aku bisa menghargainya. Batuk terbilang
penyakit sederhana yang tidak perlu dikhawatirkan. Namun batuk berskala
panjang, membuatku tersiksa, mungkin setara sakitnya bagi mereka yang punya
penyakit berat yang membutuhkan pengobatan super mahal.
Kusebut ini pelajaran, bukan cobaan. Akar dari kasih sayang yang mungkin
sekarang tidak kurasakan. Tapi aku pernah merasakannya sebagai akar, sebagai
pondasi yang kuat. Mungkin buahnya kini sudah busuk, namun akarnya tetap akan
terus tertanam kuat didalam tanah. Aku tidak menyesalinya, karena sekarang aku
tahu, mereka tidak akan pernah membenciku.