Dentingan Nada Terakhir
Matahari
mulai menampakkan sinar kemerahannya, dan perlahan menghilang diantara kapas
kapas yang berserakan. Seorang gadis mengayuh sepedanya dengan susah payah.
Peluh yang bergelantungan di dahinya kini berluncuran begitu saja melewati mata
dan hidungnya. Rambutnya yang terikat kuda terlihat berantakan. Lutut kanannya
terluka dan belum sempat diobati. Ia kini membayangkan wajah Ibunya yang diam
terpaku sambil memegangi mulutnya ketika melihat luka dan goresan yang gadis
ini dapatkan.
Suara klakson mobil membuyarkan
lamunannya. Gadis itu hilang keseimbangannya dan hampir terjatuh.
“Maaf!” teriaknya kepada pengemudi
mobil yang tampaknya tidak mendengarkan. Mobil itu terus melaju kencang.
Gadis itu menghela napas dan kembali
mengayuh sepedanya pulang.
***
Sudah 20 menit berlalu semenjak
gadis itu memasuki rumahnya. Ia hanya berdiri menuduk, tidak berani menatap Ibunya.
“Dhifa, sepertinya kamu harus
berhenti bermain bola” suara Ibunya sedikit pelan namun tegas.
Gadis yang dipanggil Dhifa itu
terkejut. Ia mendongak untuk menatap Ibunya. Matanya melebar dan mulai berkaca-kaca.
“Kenapa?” tanyanya.
“Ya, kamu tahu. Ibu hanya tidak
ingin kamu telihat seperti...”
“Laki-laki?” tanya Dhifa menyelidik.
“Ya” jawab Ibu, “Kamu tahu, semua
orang bilang kalau kamu adalah anak yang cantik, manis, baik. Jadi... menurut Ibu
carilah kegiatan yang membuatmu terlihat seperti perempuan pada umumnya”
lanjutnya.
Dhifa tersenyum samar, “Akan kucoba,
bu. Ohya, maaf bu tadi aku menyela”
“Ibu selalu memaafkanmu” Ibu
tersenyum dan itu membuat Dhifa ikut tersenyum.
***
5 menit lagi! Gumam Dhifa sambil berlari
menuju kelasnya. Ketika Dhifa membuka pintu kelas, ia mendapati suasana yang
sama seperti pagi yang lalu. Teman temannya yang sibuk mengerjakan PR.
“Dif!” seseorang memanggilnya,
“Bagaimana PR-mu? Apa aku boleh pinjam?” tanyanya.
“Hei, sampai kapan kau mau mendapat nilai
jelek? Walaupun dia rajin mengerjakan PR, nilai dia selalu jelek. Semua tahu
itu” golak tawa terdengar memenuhi ruang kelas itu.
“Benar juga! Oh, kuharap ada orang
pintar yang mau meminjamkan PR-nya padaku”
Dhifa hanya tersenyum tipis dan
melanjutkan langkahnya. Ia tidak benar-benar mendengar teman-temannya lagi. Ia
duduk di bangkunya dan memikirkan sesuatu yang tidak jelas.
Bel tanda masuk pun dibunyikan.
Kegaduhan di kelas pun meredam seketika. Beberapa menit kemudian masuklah Pak Edi,
guru matematika ke kelas Dhifa.
“Pagi” sapanya datar, “Bagaimana PR-nya?
Bapak harap kalian tidak menyalah artikan apa PR itu” lanjutnya seolah sudah
melihat kegaduhan yang tadi terjadi.
Pak Edi tersenyum tipislalu
mendengus, “Kalian tahu? PR itu singkatan dari pekerjaan rumah” bisiknya. “Baiklah,
simpan dulu masalah PR, kalian ingin tahu nilai ulangan kalian kemarin?” Dhifa
danteman-temannya hanya bisa diam seribu bahasa.
“Heemm” gumam Pak Edi sambil
melihat-lihat hasil ulangan, “Dhifa?” matanya mencari cari sosok gadis bermata bulat
itu.
“Ya?” suara Dhifa serak seketika.
“Kamu tahu, ini adalah pelajaran
kelas 8 tentang garis singgung. Bapak hanya mengulangnya karena sebentar lagi
kalian akan UN. Kenapa nilaimu masih jelek? Ayolah, Ayahmu dulu seorang dosen
matematika di salah satu universitas ternama, kan?”
Dhifa terdiam, ia telah larut dalam
pikirannya sendiri. Kedua orang tuanya bercerai 3 tahun yang lalu. Dhifa
tinggal bersama Ibunya yang menjadi pelukis. Ibunya memang bukan pelukis
profesional, tapi banyak orang yang tertarik untuk membeli lukisan buatan Ibunya.
Ayahnya sudah menikah lagi dengan wanita keturunan Jepang. Dan sekarang menetap
di Jerman. Ya, memang dulu Ayahnya adalah dosen matematika di salah satu universitas
ternama di Jakarta. Namun Ayahnya tidak pernah mengajarinya saat mereka masih
tinggal bertiga –Dhifaadalah anak tunggal. Ayah Dhifa tidak segan jika mahasiswanya
datang ke rumah sekedar untuk belajar. Dari pagi hingga matahari tenggelam pun
Ayahnya masih bersedia mengajari mahasiswanya. Hanya saja Ayahnya tidak pernah
mempunyai waktu untuk mengajari Dhifa soal aritmatika, bangun ruang, atau
sebagainya yang bisa Ayahnya selesaikan dalam waktu satu menit saja –bahkan
kurang.
“Dhifa!” panggilan Pak Edi
membuyarkan lamunannya, “Sebaiknya kamu punya teman belajar” Pak Edi
menyarankan.
“Ya” jawab Dhifa malas.
“Lebih baik kamu mulai belajar
dengan.. hhmm.. Fahri”
Semua mata kini tertuju pada seseorang
yang dipanggil Fahri itu. Dhifa ikut menatap Fahri yang tinggi, ceking, dan
berwajah pucat.
“Baiklah Dhifa, mulai sekarang jika
ada yang tidak kamu mengerti, tanyakan saja kepada Fahri. Dan bapak harap kamu
berhenti bermain bola” Dhifa mengalihkan pandangannya ke Pak Edi yang sedang
membuka buku paket matematika. Kenapa semua orang berkata seperti itu? Sudahlah!
Aku tahu. Gumam Dhifa dalam hati.
“Mari
kita belajar anak-anak!”
***
Dhifa sepertinya lupa atau sengaja melupakan
saran dari Ibunya dan Pak Edi. Istirahat hari ini pun ia tetap bermain bola
dengan teman laki-lakinya. Seorang temannya menendang bola dengan cukup keras
dan akhirnya terlempar jauh dari area mereka bermain.
“Fa! Tolong ambilkan!” pinta salah
satu dari mereka.
Dhifa berjalan dengan langkah lebar,
bola itu sudah di tangannya. Kemudian ia melihat sosok Fahri yang sedang duduk di
bangku panjangsambil menikmati lagu dari iPod-nya.
Ia jadi teringat apa yang Pak Edi katakan, dan sekarang ia terbayang soal
matematika yang diberikan Pak Edi untuk diselesaikan di rumah.
”Dhifaaaa!” teriakan temannya itu
membuyarkan lamunannya. Dhifa menatap bola yang ada ditangannya kemudian
melemparnya dengan kencang.
“Aku udahaaan!” teriak Dhifa kepada
teman-temannya. Ia pun berlari ke kelas mengambil buku dan pensil. Lima menit
berselang, Dhifa pun keluar dan menghampiri Fahri. Dhifa terlihat canggung, ia
bingung mau berkata apa. Karena orang yang akan dihadapinya adalah orang yang
jarang berbicara dan sepertinya pemalu.
“Hai” sapa Dhifa.
“Nomor berapa?” Fahri melepas headset-nya dan melirik Dhifa sejenak.
“Kau tidak membalas sapaanku?” tanya
Dhifa kesal.
“Sudahlah. Cepat beritahu nomor
berapa”
Dhifa memutar bola matanya, “tiga”jawabnya
singkat sambil memberikan bukunya. Fahri menerimanya dan mengambil pensil yang
ada di atas buku itu. Dengan cepat ia mengerjakan soal tersebut.
“Selesai. Kembalilah” Fahri
mengembalikan buku Dhifa. Dhifamenatapnya heran, alisnya berkerut.
“Hei, aku meminta kau mengajariku.
Kau pikir aku akan mengerti hanya melihat coretanmu?”
Fahri mendengus, “Ayolah, itu soal
yang mudah. Kau pasti bisa mengerjakannya”
“Kau tidak menjalankan amanat!” mata
Dhifa menyipit menatap Fahri.
“Kau tahu, aku tidak menginginkannya.
Ini.. terpaksa” Fahri balas menatap Dhifa.
Dhifa menghela napas dengan kesal,
kemudian berkata “Baiklah, kuharap Pak Edi tidak kecewa ketika memeriksa PR-ku
minggu depan”
“Apa?” Fahri menatap Dhifa heran, “Kau
bisa bertanya kepada ayahmu, kan” lanjutnya.
“Aku tidak pernah bertemu dengannya
lagi” jawab Dhifa ringan mencoba menahan rasa kesal dan kecewa mengingat Ayahnya
yang pergi begitu saja.
Seberkas rasa penasaran terlihat
dari mata Fahri, namun ia meredamnya lalu mendengus, “Terserahlah” ia membasahi
bibirnya yang kering. “Lalu, apa rencanamu?” tambahnya.
Dhifa berpikir sejenak lalu berkata,
“Setiap hari sepulang sekolah. Kau lebih baik mengajariku daripada sibuk
mendengarkan lagu”
“Mendengarkan
lagu lebih baik daripada mengajarimu” jawabnya cepat sambil beranjak dari kursi
panjang dan bersiap menjauh dari gadis yang mengganggu istirahatnya ini.
Fahri berbalik menatap Dhifa ragu,
“Tapi... baiklah. Untung idemu tidak aneh” Ia berjalan ke kelas dengan langkah
lebar. Dhifa hanya bisa menatap punggung laki-laki itu dengan alis terangkat. “Sebaiknya hilangkan dulu kebiasaan
mendengusmu itu!” Gumam Dhifa.
***
Seminggu berlalu, Dhifa menghabiskan
sorenya dengan belajar bersama Fahri. Laki-laki itu mengajari Dhifa dengan
cepat, setiap melihat soal keningnya berkerut serius. Walaupun begitu Dhifa
perlahan mengerti apa yang diajarkan laki-laki itu.
“Selesai!” Gumam Dhifa senang.
Matanya kini terarah kepada teman-temannya yang sedang bermain bola kemudianberalih
menatap Fahri yang sudah asyik dengan iPod-nya,
“Bagaimana kalau kita bermain bola? Aku jarang melihatmu olahraga, kau selalu
banyak alasan kalau di ajak olahraga”
“Tidak” Jawab Fahri singkat.
“Kenapa wajahmu selalu terlihat
pucat? Akhir-akhir ini aku juga sering melihatmu bolak-balik ke UKS” Dhifa
penasaran.
“Itu...
emm.. tidak! Kenapa aku harus menjawab pertanyaanmu itu? Apa pedulimu mau aku
pucat atau tidak?” Fahri mendengus kesal.
“Ah,
ya. Benar juga. Buat apa aku peduli” Dhifa menjawab dengan santai.
“Apa cita-citamu?” pertanyaan itu
terlintas seketika di kepala Dhifa.
Fahri menatap Dhifa heran bercampur
bingung, “Apa cita-citamu?” tanyanya balik.
“Aku ingin menjadi atlet. Tapi entah
atlet apa” Dhifa menatap kosong lurus ke depan lalu melanjutkan ceritanya, “Aku
ingin menjadi perenang tapi aku tidak tahan berlama-lama di air. Aku ingin jadi
pemain basket tapi aku kurang tertarik dengan olahraga itu. Jadi aku mencoba
sepak bola. Dan setiap aku bermain bola, aku senang. Sangat senang” Bibirnya
terangkat ke atas mengukir senyum.Fahri hanya diam, memikirkan hal yang tidak
jelas.
Lalu
ia medengus seraya berkata, “Aku ragu apa klub sepakbola Indonesia akan
menerima pesepak bola wanita”
Mata
Dhifa melebar kemudianmenatap Fahri yang tertawa dengan geram, “Setidaknya aku
punya mimpi”
“Apa?”
“Aku
kadang kasihan dengan orang yang bisa segalanya namun tidak tahu apa yang mau
ia impikan” jawab Dhifa, “Jadi apa cita-citamu?”
Fahri
berpikir, ia ingin menjawab tapi ragu sejenak. Akhirnya menjawab, “Lulus
sekolah. Mungkin”
“Hei,
apa cita-citamu hanya sebatas itu?” Dhifa meninju lengan Fahri pelan sambil
tertawa.
“Ya”
jawabnya singkat, “Menurutku bermimpi itu melelahkan” tambahnya.
Dhifa
menatap Fahri dengan kening berkerut, “Menurutku bermimpi itu perlu. Karena
kita tidak tahu batas hidup kita. Saat kita merasa sehat dan baik, ajal datang
menjemput begitu saja. Namun adajuga orang yang kalau dibilang... tidak bisa
bertahan lebih lama lagi, dia sudah mulai putus asa dengan mimpinya dan
menguburnya dalam-dalam. Namun ternyata ia diberi waktu lebih panjang untuk
hidup. Dan ia menyesal karena menghabiskan waktunya hanya untuk meratapi
kematian yang belum pasti. Menyesal karena mengubursemuanya terlalu dalam”
Dhifa
menelan ludah susah payah kemudian membasahi bibir tipisnya. “Senang rasanya
berusaha meraih mimpi, walaupun nyatanya sulit. Dimana kau senang bisa
memulainya, dimana kau bisa tersenyum dengan satu kemenangan kecil, dimana kau
jadi kesal dan kecewa karena merasa tidak melakukannya dengan baik, dimana kau
bisa tersenyum memamerkan gigimu saat kau sudah menyelesaikannya –walau itu
hanya satu dari beribu rintangan menuju mimpi kita yang sebenarnya”
Fahri
menutup rapat mulutnya, lagu bervolume sedang dari iPodyang ia tempelkan di telinganya sudah tidak terdengar jelas lagi.
Ia dapat melihat gadis itu menelan ludah dengan susah payah. Ia menunggu gadis
itu melanjutkan perkataannya.
“Aku
senang melakukan apa yang aku sukai. Aku senang aku diberi kesempatan bermimpi.
Walau aku tahu aku tidak bisa meramal kematianku. Walau aku tidak tahu apakah
aku masih bisa bernapas detik selanjutnya. Setidaknya ada satu hal yang
membuatku bahagia. Aku pernah bermimpi dan aku pernah mencoba mewujudkannya”
Seulas senyuman lebar tersungging dibibirnya.
Fahri masih diam terpakumenatap gadis itu kemudian matanya beralih kedepan
menatap matahari yang hampir tenggelam.
“Indah, ya” Dhifa menatap langit
sore kemerahan itu. Dengan satu kalimat tadi Fahri sudah tahu apa yang terlihat
indah itu. Fahri terdiam. Berbagai emosi berkelebat di otaknya, ia mulai memikirkan
hal yang dikiranya tidak pernah penting itu.
“Kurasa kau pantas menjadi penyanyi”
Dhifa membuyarkan lamunan Fahri.
“Aku tidak bisa menyanyi” Fahri
mendengus kemudian melanjutkan, “Aku tidak pernah berpikir untuk menjadi
penyanyi”
“Kenapa tidak? Kau suka mendengarkan
lagu, kan?”
“Aku suka mendengarkan lagu, namun
tidak untuk menyanyi” Fahri menyipitkan matanya menatap Dhifa.
Dhifa menghela napas kemudian
berkata, “Kurasa aku harus pulang, sebelum ibuku khawatir dan menuduhku bermain
bola lagi hari ini” Dhifa bangkit dari duduknya sambil mengkrucutkan bibirnya.
Terbayang wajah ibunya yang akan menginterogasinya. Fahri tertawa geli melihat
tingkah gadis itu.
Dhifa berjalan begitu saja dengan
langkah pelan. Namun, ia terdiam sesaat dan berbalik menatap Fahri, “Terima
kasih” ucapnya tulus. Fahri tidak menjawabnya, ia hanya tersenyum lebar
mengisyaratkan apa yang seharusnya ia jawab.
***
Hubungan Dhifa dengan Fahri semakin
dekat, mereka terlihat seperti kakak adik yang begitu akur. Namun 1 bulan yang
lalu Dhifa mendapati Fahri tidak masuk sekolah. Ia tidak masuk sebulan penuh
lamanya. Dhifa mulai heran dan akhirnya bertanya ke guru-guru. Ia mendapatkan informasi
yang tidak ingin dia dengar, yaitu Fahri pindah sekolah. Gadis itu sering
melamun sekarang, karena ia baru saja kehilangan orang yang sangat baik
baginya.
Saat Dhifa bersiap-siap untuk pulang
ke rumah, seorang teman laki-lakinya menghampiri dengan raut datar. Namun,
seberkas kesedihan tergambar di matanya. Sebelah tangannya mengusap bahu Dhifa
perlahan.
“Apa?” Dhifa mengangkat sebelah
alis.
“Maaf... kuharap kau ikhlas
mendengarnya” seukir senyum masam terukir di wajah laki-laki itu. Kemudian ia
berbisik pelan di telinga Dhifa. Dhifa berusaha mencerna, memahami dan
menerimanya. Namun hatinya tak mau menerimanya. Rahangnya kaku, ia menatap
kosong ke depan, mata bulatnya panas dan akhirnya merah. Butiran itu jatuh
sekali, kemudian begitu derasnya sampai tangannya sulit menahannya.
***
Hari ini langit menyuguhkan sore
yang sungguh indah bagi gadis bemata bulat itu. Cahaya matahari bersinar terang
mengisi jagat raya ini. Tidak memberikan hawa panas, namun menyusupkan rasa
hangat dalam dirinya. Dia terduduk lemah. Dengan baju hitam polos, ia terus
meneteskan air mata. Sebuah papan kayu yang mengukir nama orang itu membuat
dadanya sesak. Dia kehilangan lagi. Kedua kalinya setelah ayahnya.
Matanya merah sembab. Tidak
terhitung lagi berapa tetes air mata yang ia keluarkan. Berharap ini terakhir
kalinya ia kehilangan. Ia tersenyum pahit, badannya terkuncang menahan sesak.
Ibunya hanya mengusap punggung putri tunggalnya itu pelan berusaha
menghantarkan hangat dan semangat.
Beberapa menit kemudian seseorang
wanita paruh baya berbadan ramping menghampirinya. Ia berbicara kepada gadis
itu. Namun, sepertinya tidak didengarkan karena emosi yang bercampur di
hatinya. Ada rasa sedih bingung, kecewa, marah dan sebagainya. Wanita itu
menaruh sesuatu di hadapan gadis itu. Namun gadis itu tidak melihat dengan
jelas karena air mata yang memenuhi pelupuk matanya. Wanita itu pun berlalu.
Cahaya terang yang tadi membanjiri
kini memudar. Berganti hembusan dingin dengan sinar sinar kecil yang terhias di
langit. Rintik-rintik kecil mulai berjatuhan, membasahi bahu dan rambut gadis
tersebut. Harum gundukan tanah di depannya menyengat masuk ke hidungnya. Begitu harumnya sampai ia
menahan napas untuk beberapa detik.
“Ayo pulang” ajak ibunya lembut
sambil membantu anaknya berdiri. Sebelum ia mencoba berdiri, ia terdiam menatap
secarik kertas dan sebuah CD di hadapanya –yang terlihat sedikit buram di
matanya- lalu mengambilnya dengan tangan yang bergetar. Semua berlalu dengan
cepat.
***
Dhifa sudah berada di rumahnya.
Matanya sembab, namun ia sudah berhenti menangis. Ditatapnya kertas yang tadi
diberi wanita itu. Lalu Dhifa membukanya. Ia tersenyum melihat pola tulisan
yang terukir disana. Sudah tidak asing baginya. Perlahan ia membaca surat itu.
“Hai,
kuharap kau baik-baik saja. Maaf aku tidak memberi tahumu. Maaf aku berbohong
tentang kepindahanku. Selama ini aku terlalu takut bercerita tentang
penyakitku. Waktu aku kelas empat SD, aku divonis mengidap penyakit leukemia. Dan selama satu bulan kemarin
aku disuruh beristirahat.
Kau
tahu? Selama aku dirawat di rumah sakit aku berpikir sesuatu tentang mimpimu.
Maaf bila aku sok tahu. Tapi melihat kenyataan bahwa belum ada klub sepak bola
yang menerima pemain wanita, kupikir kau bagus menjadi guru olahraga”
Dhifa tertawa singkat kemudian lanjut membaca,
“Mereka
pasti senang mempunyai guru yang baik, optimis, dan bersemangat sepertimu. Aku
hanya menyarankanmu saja. Jangan terlalu dipikirkan. Berkatmu, aku jadi tahu
apa yang aku impikan. Aku tidak ingin menjadi penyanyi, aku ingin menjadi
pianis. Mendengar Ayahku bermain keyboard
untuk menghiburku, aku jadi tertarik dengan hal itu. Aku membayangkan diriku di
atas panggung dan aku bermain piano di atas sana, memainkan nada-nada cepat
yang membuat otakku terasa ringan dan ingin mengukir senyum. Aku minta Ayah
mengajariku beberapa nada sederhana dan kami bermain keyboard bersama-sama. Dan saat itulah aku sangat senang
memulainya. Aku terus mencoba, suatu hari aku kesal karena permainanku tak
sebagus Ayahku. Dan suatu hari aku memainkan beberapa nada asal, memperbaiki
nada yang tidak sesuai, dan merangkainya menjadi kumpulan nada yang menurutku
indah. Dan aku terseyum lebar hari itu. Aku ingin kau jadi orang pertama yang
mendengarkannya. Aku bukan pianis handal. Permainanku belum begitu bagus. Tapi
aku ingin kau menjadi saksi, bagaimana usahaku untuk meraih mimpi.
Terima
kasih telah menjadi sahabatku.”
Air mata menetes dengan mulus dari
mata Dhifa, lalu cepat-cepat ia menghapusnya. Kemudian ia mengambil CD
tersebut. Dengan gerakan cepat ia menuruni anak tangga dan memasukkan CD
tersebut ke CD player.
Dentingan satu nada panjang
terdengar memenuhi rumah tersebut. Kemudian terdengar satu nada yang lebih tinggi
lagi dari nada sebelumnya. Kemudian diam beberapa detik. Dhifa bisa menebak
kalau Fahri memainkan pianonya dengan ragu dan kaku. Dia tersenyum tipis membayangkan
wajah Fahri yang bingung dengan gerakannya yang kikuk. Kemudian terdengar nada-nada
lain yang. Terdengar lebih teratur daripada sebelumnya. Seulas senyum terukir
di bibir Dhifa, ia memejamkan matanya dan menikmati nada-nada sederhana itu
menyusup kedalam telinganya. Ia membiarkan rasa hangat masuk kedalam dirinya
dan menguasainya. Membiarkan ia mengingat kembali kejadian terindah dalam
hidupnya. Aku tidak pernah sebahagia ini.
No comments:
Post a Comment