Welcome

WELCOME! YOU FOUND MY PAGE! ENJOY IT :)

Monday, January 13, 2014

dentingan nada terakhir



Dentingan Nada Terakhir

Matahari mulai menampakkan sinar kemerahannya, dan perlahan menghilang diantara kapas kapas yang berserakan. Seorang gadis mengayuh sepedanya dengan susah payah. Peluh yang bergelantungan di dahinya kini berluncuran begitu saja melewati mata dan hidungnya. Rambutnya yang terikat kuda terlihat berantakan. Lutut kanannya terluka dan belum sempat diobati. Ia kini membayangkan wajah Ibunya yang diam terpaku sambil memegangi mulutnya ketika melihat luka dan goresan yang gadis ini dapatkan.
            Suara klakson mobil membuyarkan lamunannya. Gadis itu hilang keseimbangannya dan hampir terjatuh.
            “Maaf!” teriaknya kepada pengemudi mobil yang tampaknya tidak mendengarkan. Mobil itu terus melaju kencang.
            Gadis itu menghela napas dan kembali mengayuh sepedanya pulang.
***
            Sudah 20 menit berlalu semenjak gadis itu memasuki rumahnya. Ia hanya berdiri menuduk, tidak berani menatap Ibunya.
            “Dhifa, sepertinya kamu harus berhenti bermain bola” suara Ibunya sedikit pelan namun tegas.
            Gadis yang dipanggil Dhifa itu terkejut. Ia mendongak untuk menatap Ibunya. Matanya  melebar dan mulai berkaca-kaca.
            “Kenapa?” tanyanya.
            “Ya, kamu tahu. Ibu hanya tidak ingin kamu telihat seperti...”
            “Laki-laki?” tanya Dhifa menyelidik.
            “Ya” jawab Ibu, “Kamu tahu, semua orang bilang kalau kamu adalah anak yang cantik, manis, baik. Jadi... menurut Ibu carilah kegiatan yang membuatmu terlihat seperti perempuan pada umumnya” lanjutnya.
            Dhifa tersenyum samar, “Akan kucoba, bu. Ohya, maaf bu tadi aku menyela”
            “Ibu selalu memaafkanmu” Ibu tersenyum dan itu membuat Dhifa ikut tersenyum.
***
            5 menit lagi! Gumam Dhifa sambil berlari menuju kelasnya. Ketika Dhifa membuka pintu kelas, ia mendapati suasana yang sama seperti pagi yang lalu. Teman temannya yang sibuk mengerjakan PR.
            “Dif!” seseorang memanggilnya, “Bagaimana PR-mu? Apa aku boleh pinjam?” tanyanya.
             “Hei, sampai kapan kau mau mendapat nilai jelek? Walaupun dia rajin mengerjakan PR, nilai dia selalu jelek. Semua tahu itu” golak tawa terdengar memenuhi ruang kelas itu.
            “Benar juga! Oh, kuharap ada orang pintar yang mau meminjamkan PR-nya padaku”
            Dhifa hanya tersenyum tipis dan melanjutkan langkahnya. Ia tidak benar-benar mendengar teman-temannya lagi. Ia duduk di bangkunya dan memikirkan sesuatu yang tidak jelas.
            Bel tanda masuk pun dibunyikan. Kegaduhan di kelas pun meredam seketika. Beberapa menit kemudian masuklah Pak Edi, guru matematika ke kelas Dhifa.
            “Pagi” sapanya datar, “Bagaimana PR-nya? Bapak harap kalian tidak menyalah artikan apa PR itu” lanjutnya seolah sudah melihat kegaduhan yang tadi terjadi.
            Pak Edi tersenyum tipislalu mendengus, “Kalian tahu? PR itu singkatan dari pekerjaan rumah” bisiknya. “Baiklah, simpan dulu masalah PR, kalian ingin tahu nilai ulangan kalian kemarin?” Dhifa danteman-temannya hanya bisa diam seribu bahasa.
            “Heemm” gumam Pak Edi sambil melihat-lihat hasil ulangan, “Dhifa?” matanya mencari cari sosok gadis bermata bulat itu.
            “Ya?” suara Dhifa serak seketika.
            “Kamu tahu, ini adalah pelajaran kelas 8 tentang garis singgung. Bapak hanya mengulangnya karena sebentar lagi kalian akan UN. Kenapa nilaimu masih jelek? Ayolah, Ayahmu dulu seorang dosen matematika di salah satu universitas ternama, kan?”

            Dhifa terdiam, ia telah larut dalam pikirannya sendiri. Kedua orang tuanya bercerai 3 tahun yang lalu. Dhifa tinggal bersama Ibunya yang menjadi pelukis. Ibunya memang bukan pelukis profesional, tapi banyak orang yang tertarik untuk membeli lukisan buatan Ibunya. Ayahnya sudah menikah lagi dengan wanita keturunan Jepang. Dan sekarang menetap di Jerman. Ya, memang dulu Ayahnya adalah dosen matematika di salah satu universitas ternama di Jakarta. Namun Ayahnya tidak pernah mengajarinya saat mereka masih tinggal bertiga –Dhifaadalah anak tunggal. Ayah Dhifa tidak segan jika mahasiswanya datang ke rumah sekedar untuk belajar. Dari pagi hingga matahari tenggelam pun Ayahnya masih bersedia mengajari mahasiswanya. Hanya saja Ayahnya tidak pernah mempunyai waktu untuk mengajari Dhifa soal aritmatika, bangun ruang, atau sebagainya yang bisa Ayahnya selesaikan dalam waktu satu menit saja –bahkan kurang.
            “Dhifa!” panggilan Pak Edi membuyarkan lamunannya, “Sebaiknya kamu punya teman belajar” Pak Edi menyarankan.
            “Ya” jawab Dhifa malas.
            “Lebih baik kamu mulai belajar dengan.. hhmm.. Fahri”
            Semua mata kini tertuju pada seseorang yang dipanggil Fahri itu. Dhifa ikut menatap Fahri yang tinggi, ceking, dan berwajah pucat.
            “Baiklah Dhifa, mulai sekarang jika ada yang tidak kamu mengerti, tanyakan saja kepada Fahri. Dan bapak harap kamu berhenti bermain bola” Dhifa mengalihkan pandangannya ke Pak Edi yang sedang membuka buku paket matematika. Kenapa semua orang berkata seperti itu? Sudahlah! Aku tahu. Gumam Dhifa dalam hati.
            “Mari kita belajar anak-anak!”
***
            Dhifa sepertinya lupa atau sengaja melupakan saran dari Ibunya dan Pak Edi. Istirahat hari ini pun ia tetap bermain bola dengan teman laki-lakinya. Seorang temannya menendang bola dengan cukup keras dan akhirnya terlempar jauh dari area mereka bermain.
            “Fa! Tolong ambilkan!” pinta salah satu dari mereka.
            Dhifa berjalan dengan langkah lebar, bola itu sudah di tangannya. Kemudian ia melihat sosok Fahri yang sedang duduk di bangku panjangsambil menikmati lagu dari iPod-nya. Ia jadi teringat apa yang Pak Edi katakan, dan sekarang ia terbayang soal matematika yang diberikan Pak Edi untuk diselesaikan di rumah.
            ”Dhifaaaa!” teriakan temannya itu membuyarkan lamunannya. Dhifa menatap bola yang ada ditangannya kemudian melemparnya dengan kencang.
            “Aku udahaaan!” teriak Dhifa kepada teman-temannya. Ia pun berlari ke kelas mengambil buku dan pensil. Lima menit berselang, Dhifa pun keluar dan menghampiri Fahri. Dhifa terlihat canggung, ia bingung mau berkata apa. Karena orang yang akan dihadapinya adalah orang yang jarang berbicara dan sepertinya pemalu.
            “Hai” sapa Dhifa.
            “Nomor berapa?” Fahri melepas headset-nya dan melirik Dhifa sejenak.
            “Kau tidak membalas sapaanku?” tanya Dhifa kesal.
            “Sudahlah. Cepat beritahu nomor berapa”
            Dhifa memutar bola matanya, “tiga”jawabnya singkat sambil memberikan bukunya. Fahri menerimanya dan mengambil pensil yang ada di atas buku itu. Dengan cepat ia mengerjakan soal tersebut.
            “Selesai. Kembalilah” Fahri mengembalikan buku Dhifa. Dhifamenatapnya heran, alisnya berkerut.
            “Hei, aku meminta kau mengajariku. Kau pikir aku akan mengerti hanya melihat coretanmu?”
            Fahri mendengus, “Ayolah, itu soal yang mudah. Kau pasti bisa mengerjakannya”
            “Kau tidak menjalankan amanat!” mata Dhifa menyipit menatap Fahri.
            “Kau tahu, aku tidak menginginkannya. Ini.. terpaksa” Fahri balas menatap Dhifa.
            Dhifa menghela napas dengan kesal, kemudian berkata “Baiklah, kuharap Pak Edi tidak kecewa ketika memeriksa PR-ku minggu depan”
            “Apa?” Fahri menatap Dhifa heran, “Kau bisa bertanya kepada ayahmu, kan” lanjutnya.
            “Aku tidak pernah bertemu dengannya lagi” jawab Dhifa ringan mencoba menahan rasa kesal dan kecewa mengingat Ayahnya yang pergi begitu saja.
            Seberkas rasa penasaran terlihat dari mata Fahri, namun ia meredamnya lalu mendengus, “Terserahlah” ia membasahi bibirnya yang kering. “Lalu, apa rencanamu?” tambahnya.
            Dhifa berpikir sejenak lalu berkata, “Setiap hari sepulang sekolah. Kau lebih baik mengajariku daripada sibuk mendengarkan lagu”
“Mendengarkan lagu lebih baik daripada mengajarimu” jawabnya cepat sambil beranjak dari kursi panjang dan bersiap menjauh dari gadis yang mengganggu istirahatnya ini.
            Fahri berbalik menatap Dhifa ragu, “Tapi... baiklah. Untung idemu tidak aneh” Ia berjalan ke kelas dengan langkah lebar. Dhifa hanya bisa menatap punggung laki-laki itu dengan alis terangkat. “Sebaiknya hilangkan dulu kebiasaan mendengusmu itu!” Gumam Dhifa.
***
            Seminggu berlalu, Dhifa menghabiskan sorenya dengan belajar bersama Fahri. Laki-laki itu mengajari Dhifa dengan cepat, setiap melihat soal keningnya berkerut serius. Walaupun begitu Dhifa perlahan mengerti apa yang diajarkan laki-laki itu.
            “Selesai!” Gumam Dhifa senang. Matanya kini terarah kepada teman-temannya yang sedang bermain bola kemudianberalih menatap Fahri yang sudah asyik dengan iPod-nya, “Bagaimana kalau kita bermain bola? Aku jarang melihatmu olahraga, kau selalu banyak alasan kalau di ajak olahraga”
            “Tidak” Jawab Fahri singkat.
            “Kenapa wajahmu selalu terlihat pucat? Akhir-akhir ini aku juga sering melihatmu bolak-balik ke UKS” Dhifa penasaran.
“Itu... emm.. tidak! Kenapa aku harus menjawab pertanyaanmu itu? Apa pedulimu mau aku pucat atau tidak?” Fahri mendengus kesal.
“Ah, ya. Benar juga. Buat apa aku peduli” Dhifa menjawab dengan santai.
            “Apa cita-citamu?” pertanyaan itu terlintas seketika di kepala Dhifa.
            Fahri menatap Dhifa heran bercampur bingung, “Apa cita-citamu?” tanyanya balik.
            “Aku ingin menjadi atlet. Tapi entah atlet apa” Dhifa menatap kosong lurus ke depan lalu melanjutkan ceritanya, “Aku ingin menjadi perenang tapi aku tidak tahan berlama-lama di air. Aku ingin jadi pemain basket tapi aku kurang tertarik dengan olahraga itu. Jadi aku mencoba sepak bola. Dan setiap aku bermain bola, aku senang. Sangat senang” Bibirnya terangkat ke atas mengukir senyum.Fahri hanya diam, memikirkan hal yang tidak jelas.
Lalu ia medengus seraya berkata, “Aku ragu apa klub sepakbola Indonesia akan menerima pesepak bola wanita”
Mata Dhifa melebar kemudianmenatap Fahri yang tertawa dengan geram, “Setidaknya aku punya mimpi”
“Apa?”
“Aku kadang kasihan dengan orang yang bisa segalanya namun tidak tahu apa yang mau ia impikan” jawab Dhifa, “Jadi apa cita-citamu?”
Fahri berpikir, ia ingin menjawab tapi ragu sejenak. Akhirnya menjawab, “Lulus sekolah. Mungkin”
“Hei, apa cita-citamu hanya sebatas itu?” Dhifa meninju lengan Fahri pelan sambil tertawa.
“Ya” jawabnya singkat, “Menurutku bermimpi itu melelahkan” tambahnya.
Dhifa menatap Fahri dengan kening berkerut, “Menurutku bermimpi itu perlu. Karena kita tidak tahu batas hidup kita. Saat kita merasa sehat dan baik, ajal datang menjemput begitu saja. Namun adajuga orang yang kalau dibilang... tidak bisa bertahan lebih lama lagi, dia sudah mulai putus asa dengan mimpinya dan menguburnya dalam-dalam. Namun ternyata ia diberi waktu lebih panjang untuk hidup. Dan ia menyesal karena menghabiskan waktunya hanya untuk meratapi kematian yang belum pasti. Menyesal karena mengubursemuanya terlalu dalam”
Dhifa menelan ludah susah payah kemudian membasahi bibir tipisnya. “Senang rasanya berusaha meraih mimpi, walaupun nyatanya sulit. Dimana kau senang bisa memulainya, dimana kau bisa tersenyum dengan satu kemenangan kecil, dimana kau jadi kesal dan kecewa karena merasa tidak melakukannya dengan baik, dimana kau bisa tersenyum memamerkan gigimu saat kau sudah menyelesaikannya –walau itu hanya satu dari beribu rintangan menuju mimpi kita yang sebenarnya”
Fahri menutup rapat mulutnya, lagu bervolume sedang dari iPodyang ia tempelkan di telinganya sudah tidak terdengar jelas lagi. Ia dapat melihat gadis itu menelan ludah dengan susah payah. Ia menunggu gadis itu melanjutkan perkataannya.
“Aku senang melakukan apa yang aku sukai. Aku senang aku diberi kesempatan bermimpi. Walau aku tahu aku tidak bisa meramal kematianku. Walau aku tidak tahu apakah aku masih bisa bernapas detik selanjutnya. Setidaknya ada satu hal yang membuatku bahagia. Aku pernah bermimpi dan aku pernah mencoba mewujudkannya”
            Seulas senyuman lebar tersungging dibibirnya. Fahri masih diam terpakumenatap gadis itu kemudian matanya beralih kedepan menatap matahari yang hampir tenggelam.
            “Indah, ya” Dhifa menatap langit sore kemerahan itu. Dengan satu kalimat tadi Fahri sudah tahu apa yang terlihat indah itu. Fahri terdiam. Berbagai emosi berkelebat di otaknya, ia mulai memikirkan hal yang dikiranya tidak pernah penting itu.
            “Kurasa kau pantas menjadi penyanyi” Dhifa membuyarkan lamunan Fahri.
            “Aku tidak bisa menyanyi” Fahri mendengus kemudian melanjutkan, “Aku tidak pernah berpikir untuk menjadi penyanyi”
            “Kenapa tidak? Kau suka mendengarkan lagu, kan?”
            “Aku suka mendengarkan lagu, namun tidak untuk menyanyi” Fahri menyipitkan matanya menatap Dhifa.
            Dhifa menghela napas kemudian berkata, “Kurasa aku harus pulang, sebelum ibuku khawatir dan menuduhku bermain bola lagi hari ini” Dhifa bangkit dari duduknya sambil mengkrucutkan bibirnya. Terbayang wajah ibunya yang akan menginterogasinya. Fahri tertawa geli melihat tingkah gadis itu.
            Dhifa berjalan begitu saja dengan langkah pelan. Namun, ia terdiam sesaat dan berbalik menatap Fahri, “Terima kasih” ucapnya tulus. Fahri tidak menjawabnya, ia hanya tersenyum lebar mengisyaratkan apa yang seharusnya ia jawab.
***
            Hubungan Dhifa dengan Fahri semakin dekat, mereka terlihat seperti kakak adik yang begitu akur. Namun 1 bulan yang lalu Dhifa mendapati Fahri tidak masuk sekolah. Ia tidak masuk sebulan penuh lamanya. Dhifa mulai heran dan akhirnya bertanya ke guru-guru. Ia mendapatkan informasi yang tidak ingin dia dengar, yaitu Fahri pindah sekolah. Gadis itu sering melamun sekarang, karena ia baru saja kehilangan orang yang sangat baik baginya.
            Saat Dhifa bersiap-siap untuk pulang ke rumah, seorang teman laki-lakinya menghampiri dengan raut datar. Namun, seberkas kesedihan tergambar di matanya. Sebelah tangannya mengusap bahu Dhifa perlahan.
            “Apa?” Dhifa mengangkat sebelah alis.
            “Maaf... kuharap kau ikhlas mendengarnya” seukir senyum masam terukir di wajah laki-laki itu. Kemudian ia berbisik pelan di telinga Dhifa. Dhifa berusaha mencerna, memahami dan menerimanya. Namun hatinya tak mau menerimanya. Rahangnya kaku, ia menatap kosong ke depan, mata bulatnya panas dan akhirnya merah. Butiran itu jatuh sekali, kemudian begitu derasnya sampai tangannya sulit menahannya.
***
            Hari ini langit menyuguhkan sore yang sungguh indah bagi gadis bemata bulat itu. Cahaya matahari bersinar terang mengisi jagat raya ini. Tidak memberikan hawa panas, namun menyusupkan rasa hangat dalam dirinya. Dia terduduk lemah. Dengan baju hitam polos, ia terus meneteskan air mata. Sebuah papan kayu yang mengukir nama orang itu membuat dadanya sesak. Dia kehilangan lagi. Kedua kalinya setelah ayahnya.
            Matanya merah sembab. Tidak terhitung lagi berapa tetes air mata yang ia keluarkan. Berharap ini terakhir kalinya ia kehilangan. Ia tersenyum pahit, badannya terkuncang menahan sesak. Ibunya hanya mengusap punggung putri tunggalnya itu pelan berusaha menghantarkan hangat dan semangat.
            Beberapa menit kemudian seseorang wanita paruh baya berbadan ramping menghampirinya. Ia berbicara kepada gadis itu. Namun, sepertinya tidak didengarkan karena emosi yang bercampur di hatinya. Ada rasa sedih bingung, kecewa, marah dan sebagainya. Wanita itu menaruh sesuatu di hadapan gadis itu. Namun gadis itu tidak melihat dengan jelas karena air mata yang memenuhi pelupuk matanya. Wanita itu pun berlalu.
            Cahaya terang yang tadi membanjiri kini memudar. Berganti hembusan dingin dengan sinar sinar kecil yang terhias di langit. Rintik-rintik kecil mulai berjatuhan, membasahi bahu dan rambut gadis tersebut. Harum gundukan tanah di depannya menyengat masuk  ke hidungnya. Begitu harumnya sampai ia menahan napas untuk beberapa detik.
            “Ayo pulang” ajak ibunya lembut sambil membantu anaknya berdiri. Sebelum ia mencoba berdiri, ia terdiam menatap secarik kertas dan sebuah CD di hadapanya –yang terlihat sedikit buram di matanya- lalu mengambilnya dengan tangan yang bergetar. Semua berlalu dengan cepat.
***
            Dhifa sudah berada di rumahnya. Matanya sembab, namun ia sudah berhenti menangis. Ditatapnya kertas yang tadi diberi wanita itu. Lalu Dhifa membukanya. Ia tersenyum melihat pola tulisan yang terukir disana. Sudah tidak asing baginya. Perlahan ia membaca surat itu.
“Hai, kuharap kau baik-baik saja. Maaf aku tidak memberi tahumu. Maaf aku berbohong tentang kepindahanku. Selama ini aku terlalu takut bercerita tentang penyakitku. Waktu aku kelas empat SD, aku divonis mengidap penyakit leukemia. Dan selama satu bulan kemarin aku disuruh beristirahat.
Kau tahu? Selama aku dirawat di rumah sakit aku berpikir sesuatu tentang mimpimu. Maaf bila aku sok tahu. Tapi melihat kenyataan bahwa belum ada klub sepak bola yang menerima pemain wanita, kupikir kau bagus menjadi guru olahraga”
            Dhifa tertawa singkat kemudian lanjut membaca,
“Mereka pasti senang mempunyai guru yang baik, optimis, dan bersemangat sepertimu. Aku hanya menyarankanmu saja. Jangan terlalu dipikirkan. Berkatmu, aku jadi tahu apa yang aku impikan. Aku tidak ingin menjadi penyanyi, aku ingin menjadi pianis. Mendengar Ayahku bermain keyboard untuk menghiburku, aku jadi tertarik dengan hal itu. Aku membayangkan diriku di atas panggung dan aku bermain piano di atas sana, memainkan nada-nada cepat yang membuat otakku terasa ringan dan ingin mengukir senyum. Aku minta Ayah mengajariku beberapa nada sederhana dan kami bermain keyboard bersama-sama. Dan saat itulah aku sangat senang memulainya. Aku terus mencoba, suatu hari aku kesal karena permainanku tak sebagus Ayahku. Dan suatu hari aku memainkan beberapa nada asal, memperbaiki nada yang tidak sesuai, dan merangkainya menjadi kumpulan nada yang menurutku indah. Dan aku terseyum lebar hari itu. Aku ingin kau jadi orang pertama yang mendengarkannya. Aku bukan pianis handal. Permainanku belum begitu bagus. Tapi aku ingin kau menjadi saksi, bagaimana usahaku untuk meraih mimpi.
Terima kasih telah menjadi sahabatku.”
            Air mata menetes dengan mulus dari mata Dhifa, lalu cepat-cepat ia menghapusnya. Kemudian ia mengambil CD tersebut. Dengan gerakan cepat ia menuruni anak tangga dan memasukkan CD tersebut ke CD player.
            Dentingan satu nada panjang terdengar memenuhi rumah tersebut. Kemudian terdengar satu nada yang lebih tinggi lagi dari nada sebelumnya. Kemudian diam beberapa detik. Dhifa bisa menebak kalau Fahri memainkan pianonya dengan ragu dan kaku. Dia tersenyum tipis membayangkan wajah Fahri yang bingung dengan gerakannya yang kikuk. Kemudian terdengar nada-nada lain yang. Terdengar lebih teratur daripada sebelumnya. Seulas senyum terukir di bibir Dhifa, ia memejamkan matanya dan menikmati nada-nada sederhana itu menyusup kedalam telinganya. Ia membiarkan rasa hangat masuk kedalam dirinya dan menguasainya. Membiarkan ia mengingat kembali kejadian terindah dalam hidupnya. Aku tidak pernah sebahagia ini.

           

No comments:

Post a Comment