Tania berlari keluar dari gang rumahnya, sepatu hitamnya penuh lumpur, sebab
semalam hujan deras sehingga jalanan di sekitar rumahnya menjadi becek. Topi,
dasi, ikat pinggang hitam, hari ini tidak ada yang tetinggal sama sekali. Ya,
hari ini hari Senin. Sudah terbayanglah, bagaimana ribetnya mon(ster)day itu.
Tania
turun dari angkot berwarna biru, kemudian kembali berlari menuju gerbang
sekolah. Ia tengok ke langit-langit, bendera merah putih sudah meliuk-liuk
diterpa angin. Ia berhenti melangkah, ia sudah tahu apa yang harus dia lakukan
sekarang. Menunggu dibalik gerbang sekolah sampai upacara berakhir.
20
menit? 30 menit? 50 menit? 60 menit?? Dari tadi Tania melirik kearah jam tangan
berwarna kuning yang Ia pakai. “Pembina upacara meninggalkan lapangan upacara”
suara itu terdengar dari dalam sekolah. Tania mengempalkan tangannya hatinya
berseru ‘yes’
Gerbang
sekolah pun dibuka, Tania pun bergegas masuk ke dalam sekolah. Namun usahanya
dicegat oleh seorang satpam. Membuat Tania berhenti melangkah, Ia berbalik
menghampiri satpam tersebut. Lalu satpam tersebut menanyakan alasan
keterlambatan Tania dan mencatatnya di buku piket. Setelah memberi salam, Tania
bergegas masuk ke dalam kelasnya. Dilihatnya wajah teman-temannya penuh peluh.
“Lo
kok gak dateng pagi?” tanya Sarah, teman sekelas Tania. Sarah menatap Tania
jengkel.
“Lo
tau kan, kebiasaan gue setiap hari Senin? Telat!” jawab Tania sambil duduk di bangku.
“Tapi
hari ini lo seharusnya jadi pengibar bendera, kan!” Kevin mengingatkan.
Hah? Tania tampak bingung, Ia tak
mengerti.
“Emang
iya?”
“Lo
kan waktu itu disuruh Bu Eka buat jadi petugas! Lo lupa?” tanya Sarah. Ia gak
habis pikir dengan temannya yang sudah kebelet pengen pikun ini!
Tania
hanya bisa membentuk mulutnya menjadi huruf O. Dan mengangguk-angguk tak
berdosa.
“Gimana
pr matematikanya? Susah banget, ya!” Kevin mengganti topik. Mendengar kata
matematika tiba-tiba ada sebersit kilat yang membara di dalam bola mata Tania.
“Gue
udah, tapi gue gak yakin sama jawaban gue” Akhirnya Tania menjawab.
“Oh
iya! Gue lupa ngerjain! Gimana, dong? Matematika pelajaran pertama lagi!” Sarah
panik sendiri.
“Hoo,
jadi semalem lo gak ngerjain! Gara-gara jadi pembaca UUD 45, kan?” tanya Tania
menebak.
“Gak
ngefek kaliii! Lagian lebay banget sampai segitunya!” Sarah menoyor kepala
Tania pelan.
Bunyi
sepatu high heels Bu Tika terdengar
memasuki kelas. Sarah menghela napas kesal, ia tertunduk di bangkunya. Guru
muda nan cantik namun super galak itu berjalan berlagak kayak Megan Fox. Tania cekikikan sendiri.
“Mudah
kan pr-nya?” tanya Bu Tika. Anak-anak sekelas hanya bisa mengangguk-angguk.
“Lupain
aja pr-nya!” lanjutnya, senyuman puas mengambang dari mulut Sarah. Sorak
gembira sekelas terdengar kencang sekali.
“Mending
kita ulangan aja!” Bu Tika menatap datar siswa-sisa yang ada di depannya.
Kericuhan yang tadi sempat terdengar berubah menjadi keheningan. Mereka hanya
menatap Bu Tika dengan penuh tanya.
Tok tok tok
Bunyi
hak sepatu Bu Tika mengganggu ketenangan Tania yang sedang mengerjakan ulangan.
“15
menit lagi!” Bu Tika mengingatkan.
Heelsnya berisik banget! –batin Tania.
“Yang
udah, kumpulin aja!” perintah Bu Tika.
Cih!!
Nakutin gue aja! –Tania membatin lagi.
Sarah
dan keempat teman lainnya mengumpulkan lembar ulangan ke Bu Tika. Sarah dengan
percaya diri mengumpulkannya, kemudian kembali ketempat duduknya.
“Lo
udah?” bisik Tania kepada Sarah yang duduk didepannya.
Sarah
memutar kepalanya kebelakang, “Gue emang males sih ngerjain pr, tapi gue yakin
kok nilai-nilai ulangan gue tetep bagus-bagus” jawab Sarah kemudian memutar
balik kepalanya. Tania tertegun.
Siapa
yang tidak mengenal Sarah. Anak kelas 8-1 yang pintar, cantik, jago main biola,
gitar dan piano, kebanggaan kelas.
Sedangkan Tania, murid kelas 7-5 –kelas paling ‘rendah’ harus
mati-matian untuk naik kelas dan mendapatkan kelas 8-1. Ia memang harus
meninggalkan sahabat-sahabatnya di kelas 8-5.
“Nia!
Lo bisa! Cewek sombong gituan gak usah
dipikirin! Please, elo bisa!” batin Tania bersemangat.
* * *
Jreng! Jreng!
Perhatian-perhatian! Ulangan matematika
kelas 8-1 akan segera dibagikan! Harap tenang!
Tania
menghela napas kesal. Sorak-sorak gembira terdengar di depan sana, sekarang saatnya
Tania menerima kertas pembawa sial itu. Senyum bodohnya muncul membaca tulisan
merah padam di kertas itu. REMEDIAL.
“Sar,
nilai elo berapa?”
“95!
Elo?” tanya Sarah.
Deg!
“Gue....
gue gak mau sombong soal nilai! Jadi... yah! Gue gak bakal kasih tau nilai gue!
Maaf, ya!” lagak Tania, lalu Ia berjalan melenggak lenggok ke arah bangkunya.
“Yang
remedial! Ditunggu diruang guru pas istirahat, ya! untuk Ari, dan Tania! Oke!”
pemberitahuan Bu Tika.
Sial
itu guru! Gak bisa kerja sama apa sama gue! –Tania mengutuk guru itu
habis-habisan dalam hati.
Sarah
memutar kepalanya kebelakang, tampak Tania yang tengah sibuk membaca buku
kimianya. Sarah hanya mendengus.
“Speak, doang! Gembel banget! Gak pusing
apa baca buku kimia kebalik kayak gitu??” ujar Sarah sambil tertawa.
Dibalik
buku kimianya Tania merasa sangat malu. Ia terus menggigit bibirnya sedangkan
hatinya terus memaki Sarah dalam diam. Selang beberapa menit, Tania baru sadar
kalau buku kimianya terbalik.
Kok
gue jadi malu banget gini, sih! Harusnya tadi gue diem aja, gak usah nanya ke
dia! –batin Tania.
Kalo
misalnya gue bisa, lo mau ngomong apa?! –Tania lagi-lagi membatin.
“Kalo
aja bisa! Kalo kagak?” suara itu terdengar dari mulut Ringgo. Ternyata dia
sedang bercengkrama dengan temannya. Tania mengkerutkan keningnya. Tania tahu
kalimat itu bukan untuknya, namun Ia tersdar bahwa kalimat itu tepat untuknya.
Iya
juga, ya! itu kalo gue bisa, kalo kagak? –pikir Tania. Wajah melasnya muncul
ketika melihat Bu Tika menuliskan soal latihan di papan tulis.
Kenapa
gue harus belajar matematika, sih? Gue kan maunya jadi penulis! –batin Tania.
* * *
Tania
perang mati-matian saat istirahat kemarin. Soal matematika bagaikan makanan
yang bakal membuat alerginya kambuh, tapi musti dia makan bulat-bulat. Mungkin
matematika itu asupan penting untuk memenuhi kriteria empat sehat lima
sempurna. Setelah selesai mengerjakan soal remedial, Bu Tika langsung
mengkoreksinya dan membagikan hasilnya kepada Tania dan teman-temannya. Dan hasilnya....
dibawah KKM (Kriteria Kelulusan Minimal). Sedangakan Ari, mendapatkan nilai 85
setelah remedial.
Bisa
dibayangin, dari kelas Tania hanya dua orang yang remedial. Sedangkan kelas
lain, banyak murid yang remedial.
Intinya
gue cewek bego, dong? –pikir Tania.
Ah,
engga juga, sih! Kalo di kelas gue, emang gue yang paling bego. Tapi mungkin
kalo di kelas lain, gue itu paling pinter! –Tania berpikir ulang.
Bel
tanda istirahat berakhir terdengar memenuhi satu sekolah, pelajaran selanjutnya
adalah bahasa inggris. Pelajaran kesukaan Tania, hehe. Walaupun tidak terlalu
mahir berbahasa inggris, tapi Tania selalu menunggu pelajaran ini. Bu Indah,
guru bahasa inggris pun memasuki kelas Tania.
“Good morning all!” sapa Bu Indah dengan
ramah. Serentak murid-murid membalas salam tersebut.
“Today I’ll give you a task! Please
write down or if you can just imagine it, no problem for me! I want you to tell
about your experience in front of the class. I give you 20 minutes from now!
I’ll be back!”
Deg!
Gue
suka bahasa inggris, tapi gue gak terlalu bisa bahasa inggris! Gimana dong?
–pikir Tania.
“Bu,
saya belum bisa bahasa inggris! Gimana dong, bu?” Tania mengangkat tangannya
sebelum Bu Idah pergi keluar kelas. Tampang polosnya berhasil membuat mata
anak-anak kelas tertuju padanya.
“Just do it!” perintah Bu Indah. Lalu
melenggang keluar kelas.
Tania
dapat mendengarkan tawa cekikan dari bangku
di belakangnya, Ia juga melihat teman-teman di depannya yang mengobrol
pelan sambil sesekali melirik ke arah Tania. Tapi Tania tidak peduli, itu bukan
urusannya sekarang!
20
menit pun berlalu, Bu Indah masuk lagi ke dalam kelas.
“Finish?” tanya Bu Indah. Tanpa menunggu
jawaban Bu Indah langsung berkata, “Okay,
let me call you one by one”
Tania
tidak tenang, ceritanya hanya cerita singkat. Sedangkan teman sebangkunya
menulis cerita yang hampir penuh sehalaman. Bukan cuma itu! Ia juga takut
kualitas speaking-nya dianggap payah
oleh teman-temannya.
“Sarah!”
pinta Bu Indah. Dengan percaya diri Sarah maju ke depan kelas.
Dengan
lantang dan lancar Sarah membacakan karangannya. Tania tidak begitu ngerti
apa yang diucapkan Sarah. Intinya, dia
memberitahu bahwa waktu Ia SD, Ia pernah diajak ayahnya ke Singapura buat
liburan. Habis ke Singapura, mamanya ngajak Sarah ke Thailand. Dan
bla...bla...bla.... di telinga Tania itu terdengar seperti pamer pengalaman!
Tania
menghela napas. Tidak dapat dipungkiri, cewek yang sedang berdiri di depan
kelas itu benar-benar sempurna!
“Thats all from me, thanks for your attention!”
Sarah mengakhiri ucapannya.
Semuanya
bertepuk tangan meriah, Tania ikut-ikutan.
“Good job! Now, please choose one of them to
be the next speaker!” perintah Bu Indah.
Tania
mulai gelisah, kakinya terus berdendang kencang.
Sarah
memperhatikan teman-temannya dengan gaya centil. Matanya menatap teman-teman di
depannya secara bergantian. Tania susah payah menelan ludah, kakinya terus
terhentak ke bawah. Caranya untuk menghilangkan rasa gelisah.
“Peri
kecil kita yang tengah gelisah! Tania!” mata Sarah tertuju pada Tania yang
sibuk membaca ulang karangannya.
Betulkan!
Dengan
hati yang berdebar-debar Tania maju kedepan kelas. Ia menatapi wajah
teman-temannya yang sepertinya tengah sibuk mengosipinya atau sekedar menertawainya.
Tania
pun mulai. Awalnya Ia masih terpaku teks, namun lama kelamaan Ia dapat
melanjutkan sendiri ceritanya tanpa terpaku teks. Sesekali Ia melontarkan
lawakan yang membuat teman-temannya tertawa.
Fyuuuh!
Tania menghela napas lega setelah mengucapkan salam penutup. Gemuruh tepuk
tangan yang Ia dapatkan. Padahal awalnya Ia berpikir bahwa lawakannya bakal
garing, ternyata teman-temannya tertawa dan Tania senang akan hal itu. Tania
kembali ketempat duduknya, Ia tak beerhenti tersenyum hari itu.
Gue
gak setakut yang dulu! –batin Tania.
* * *
Pr
fisika Tania sudah selasai dikerjakan. Apapun hasilnya biarin aja! Jam beker di
kamar Tania sudah menunjukkan pukul 11 malam. Tania pun menyiapkan buku-buku
untuk besok.
“Fisika,
b indo, PAI, biologi.....” Tania membaca jadwal pelajarannya. Tania terdiam
melihat tulisan BIOLOGI di jadwal pelajarannya.
Biologi?
Ohiya, besok ada biologi!–pikir Tania. Kemudian dia memasukkan buku-buku sesuai
jadwal itu. Lalu Ia membuka lembar notesnya, setelah menemukan halaman yang Ia
cari, Tania langsung membaca satu per satu tugas dan ulangan yang harus Ia
lalui minggu ini. Matanya berhenti bergerak, Ia fokus terhadap satu tulisan capslock yang keciiil banget font-nya. Matanya memaku tulisan itu
dalam otaknya. BIOLOGI ULANGAN.
Ulangan!?
–pikir Tania sekali lagi. Ia berpikir keras, apa itu guru pernah bilang
ulangan??
Tania
membulatkan matanya empat kali lebih besar, mulutnya membentuk huruf O. Ia
segera mengambil buku biologi dari tasnya dan berlari menuju meja belajarnya.
Ia buka buku biologi bab 3.
“Oke!
Malem ini gak boleh tidur! Begadang!! Harus belajar! Hafalin! Hafalin!!” ujar
Tania semangat sambil mengepalkan tangan.
* * *
Tik Tik Tik.
Jam beker Tania baru saja menunjukkan
pukul 05.00 pagi.
Kring!! Kring!! Kring!!
“Hoammmm!”
Tania mengangkat kepalanya dan merenggangkan ototnya yang pegal. Ia melirik ke arah
meja belajarnya. Buku biologi?
“Ya
Allah! Kok gue jadi ketiduran? Gue kan mau begadang?!!” teriak Tania kesal. ia
buka lagi lembaran buku itu selanjutnya. Masih 16 halaman lagi!!??
“Tania!
Cepetan bangun! Terus mandi!” panggil Ibunya. Tania menghela napas kesal. ia
ambil handuk dan membawa handuk itu ke dalam kamar mandi sekaligus buku
biologinya.
Tania
bergegas mengambil tasnya dan berlari ke ruang makan sambil terus menghafal.
“Pagi,
bu!” ujar Tania kepada ibu yang tengah membawa semangkok sup ayam lalu di letakkan
di atas meja
“Tania!!!!”
teriak Ibu kesal.
“Apaan,
bu?” tanya Tania panik.
“Buku
biologimu basah! Kamu apain?” Ibu marah.
“Ooohh!
Ini! Habis dibaca!” jawab Tania ringan.
“Dibaca
gak mungkin bisa basah gitu!” Ibu mulai curiga.
“Belajarnya
kan di kamar mandi” Tania memberitahu lagi, Ia terkekeh menatap Ibunya.
“Ada
ada aja kamu ini! Buku mahal tau, jaga baik-baik! Sampul sekalian” saran Ibu.
“Iya,
bu” jawab Tania malas, lalu kembali menghapal.
“Cepet
makan sana!” Ibu mengambilkan sepiring nasi untuk Tania.
“Makasih,
bu!”
* * *
“Silahkan
mengerjakan!” perintah Bi Ina, guru biologi.
Tania
baca perlahan soal-soal itu, keningnya berkerut melihat soal pertama. Pahanya
saling bergesek-gesekan. Akhirnya soal pertama berhasil Ia jawab. Lalu gelisah
menderanya, Ia tak mau mengecewakan Ibu lagi. Ia harap nilai matematika yang
kemarin menjadi nilai jelek terakhir selama hidupnya.
Sesekali
Tania melirik ke bangku di sampingnya. Temannya itu mengerjakan dengan tenang,
tanpa hambatan. Pulpen hitam itu terus menari di lembar jawabannya. Terbesit
niat licik di kepala Tania. Keadaan sedang sepi, dan Bu Ina hanya duduk di meja
guru sambil mengkoreksi nilai kelas lain. Dan posisi lembar jawaban teman
sebangkunya itu yang dapat dengan mudah Ia lihat.
Tania
tersadar, lalu Ia menggelengkan kepala. Ia menolak mentah-mentah ide licik itu.
Tapi di sisi lain Ia lelah harus remedial terus menerus. Tania menarik napas
lalu menghembukannya perlahan. Ia menenangkan dirinya, berharap ide yang hanya
membuat Ibunya tambah kecewa itu lenyap seketika tak berbekas.
Ia
mengambil pulpennya lagi, bersiap menjawab pertanyaan selanjutnya. Tapi Ia
sadar, Ia tidak tahu sama sekali jawaban soal itu. Hapalannya musnah dalam
sekejap, Ia hanya menjerit kesal dalam hati. Sesekali Ia melirik lagi teman
sebangkunya itu. Ide licik itu datang lagi.
“Huffttt, sabar,
Nia.....” Tania membatin.
* * *
65!
65! 65!
Tania
tertunduk kesal, nilai ulangan biolonginya dibawah KKM lagi!
Coba
gue sekelas sama sahabat-sahabat gue! Nilai segini bakal jadi nilai tertinggi
–batin Tania.
“Nilai
elo berapa?” Sarah menghampiri Tania.
“Elo?”
Tania tanya balik.
“Nilai
gue...” Sarah menjawab.
“Udah!
Udah! Gak usah! Ngapain gue nanyain nilai lo!” potong Tania kesal.
“Yailaah!
Lu yang nanya juga! Aneh, lo! Tapi ada benernya juga, sih! Buat apa lo tanya,
nilai gue emang selalu begitu!” Sarah meninggalkan Tania.
‘Begitu’?
hoo ‘begitu’ itu maksudnya nilai dia selalu bagus? Hoo, menurut gue nilai dia
gak seberapa bagi gue! Palingan beda dikit! –batin Tania, tanpa sadar Ia
mendengus kencang.
“Sedikit
itu seberapa? 20? 30?” Suara Ringgo terdengar sampai meja Tania, Ringgo sedang
ngobrol ria dengan temannya saat itu. Tania mengkerutkan keningnya. Lagi-lagi
kalimat itu memang bukan buat dia, tapi selalu saja tepat dengan jalan pikiran
Tania.
Jleb!?
Sialan
banget si Ringgo! Kenapa setiap apa yang gue pikirin, pasti dia tiba-tiba
ngomong yang pas banget buat ngejek pikiran gue? Dasar! –batin Tania kesal.
* * *
“Bu,
aku mau masuk sekolah menulis aja deh, Bu!” rengek Tania.
“Pas
TK sama kelas 1 SD kan udah?” tanya Ibu.
Hah?!
“Bukan,
Bu! Sekolah.... ya! pelajarannya itu mengarang, belajar ilmu bahasa yang gak
berhubungan sama sekali sama matematika! Gitulah, bu! Aku mau sekolah sastra!” Tania
memperjelas maksudnya.
“Nak!
Kamu mau tau gak kenapa kita harus belajar matematika?” tanya ibunya. Tania
hanya manyun lalu menggelengkan kepalanya pelan.
“Nia!
Percuma kamu nanti jadi penulis terkenal tapi gak bisa ngitung! Kamu bakal
ditipu! Nih, contoh kecil aja! Kamu beli mangga 1 kilo 12 ribu, terus beli
jeruk 1 kilo 5 ribu! Tapi kamu gak bakal tau kan harus ngasih uang berapa? Makanya
matematika itu perlu!” jelas Ibu panjang lebar. Tania hanya diam.
“Kamu
juga gak bakal sukses kalo kamu tetep mikir kayak gitu!” sahut Ibunya.
“Yaampun,
Bu! Itumah matematika gampang! Emang ngitung duit pake aljabar? Terus ngapain
pake nyari x dan y? Orang tiap hari ketemu kok sama kedua huruf itu! Sejak
kapan x dan y sama dengan angka! Terus buat apa kita....” Tania mengungkapkan
kekesalannya panjang lebar.
“Tania,
stop!” Ibu memandang Tania dengan datar. Kalimat terakhir Ibu mampu membuatnya
terdiam, dan hanya bisa menundukkan kepala.
“Sekarang
kamu bisa bilang, pelajaran kayak gitu gak penting, tapi suatu hari kamu bakal
butuh.... walaupun nanti kamu SMA milih jurusan IPS atau Bahasa, sama aja kamu bakal
ketemu matematika!” Ibu berbicara dengan cepat, emosinya meningkat. Setelah
mengucapkan kalimat terakhir, Ibu menghela napas. Mengatur emosi. Tania masih
terdiam.
“Kamu
bukan gak bisa, tapi belum bisa” suara Ibu berubah menjadi lembut, seperti
menahan emosi, “Kamu gak bisa selamanya nyalahin keadaan karena ketidakmampuan
kamu menjalani keadaan itu. Sesekali kamu harus liat dari diri kamu, apa yang
salah dari kamu?” Air mata Tania sukses mengalir dengan mulus. Ia membekap
wajahnya dengan kedua tangannya. Ia lelah. Lelah menerima keadaan bahwa usaha
kerasnya selama ini untuk mendapatkan nilai bagus hanya sia-sia.
Berkali-kali
remedial yang harus Ia lalui. Mengulang kembali pelajaran yang sudah lewat
padahal Ia juga harus mempelajari bab yang dibahas selanjutnya. Mengejar guru
hanya untuk mendapatkan nilai tambahan. Begadang sampai jam dua pagi untuk menyelesaikan
pr yang tidak berhasil Ia temukan jawabannya. Melihat teman-temannya yang
tersenyum senang sambil pamer-pamer nilai. Tersiksa karena selalu terbesit ide
licik setiap kali ulangan! Di sisi lain Ia mengharapkan niali bagus, namun di
sisi lain Ia gak mau melakukan hal gak pantas kayak gitu.
Ibu
merangkul bahu anak semata wayangnya itu sambil mengusap bahunya pelan. Keadaan
memaksa Ibu untuk menjadi single parent,
karena suaminya sudah meninggal dan Ia harus berkerja keras, Ibu jadi jarang
berkomunikasi dengan Tania. Gadis kecilnya kini bertambah dewasa, Ia bukan lagi
anak kecil yang duduk manis sambil menunggu permen lolipopnya datang lalu
bercerita tentang teman-temannya di taman kanak-kanak. Anaknya kini lebih
menutup diri, menyelesaikan masalahnya sendiri. Sering kali Ibu mendengar Tania
menangis di balik pintu kamarnya. Dan keesokkan harinya Tania enggan bercerita
dan hanya tersenyum simpul.
“Tapi
ada untungnya loh remedial” Ibu berusaha menenangkan, “Remedial berarti kan
kamu ngulang pelajaran yang lalu, jadi nanti pas UN kamu gak perlu belajar
mati-matian!” Tania tertawa. Senang rasanya dapat melihat tawa bahagia dari
anaknya itu.
“Sekarang
kamu lalui aja dulu yang ada, suatu hari nanti usahamu pasti terbalas. Ibu
yakin! Kamu harus terus berjuang! Ibu pikir hambatan yang membuat kamu sulit
nerima suatu pelajaran itu... kamu kurang ikhlas menjalankannya” Tania terdiam,
mungkin benar apa yang dikatakan Ibu. Selama ini Ia hanya menganggap matematika
itu pelajaran yang gak penting dan gak seru! Selama pelajaran matematika di
sekolah pun, Tania ogah-ogahan mendengarkan penjelasan yang membutuhkan
konsentrasi ekstra itu. Tania mengangguk, Ia mengerti sekarang. Ia memeluk
Ibunya erat malam itu.
* * *
Mungkin
memang Tania tidak sehebat Sarah, Tania sadar benar akan hal itu. Hari ini
pengambilan rapor semester ganjil. Tania menunggu di luar kelas, menunggu Ibunya
untuk tersenyum bangga terhadap nilainya. Tania terus berdoa, di hatinya hanya
ada satu harapan untuk saat ini, yaitu Ibunya keluar sambil tersenyum lebar
melihat nilai rapornya.
Ibunya
pun keluar dari kelas Tania sambil terus tersenyum lebar.
“Bu,
gimana nilai Tania?” Tanya Tania tidak sabar.
“Lumayan”
jawab Ibu. Tania mengambil rapornya dari tangan Ibunya. Senyuman tipis diukir
manis oleh Tania, matanya memerah. Lalu air matanya jatuh. Cepat-cepat Ia
menghapusnya.
“Hanya
kurang maksimal! tingkatkan lagi, ya Tania!” Ibu menyemangati.
“Ibu
pikir aku nangis gara-gara nilaiku tetep kecil? Gak kok, bu! Aku nangis liat
nilai aku naik satu angka, bu! Walaupun cuma beberapa, Tania udah seneng kok,
bu!” Tania memperlihatkan nilai-nilainya yang naik kepada Ibunya lalu Ia
memeluk ibunya erat-erat.
Semoga
hari esok lebih baik lagi!
* * *
“Nia,
happy birthday, ya! semoga karya-karya elo jadi karya yang dinanti-nanti banyak
orang!” Sarah mengulurkan tangannya, Tania menyambutnya dengan senang.
“Hadiah
buat lo! Semoga lo suka!” tambahnya sambil menyodorkan sebuah hadiah yang dibungkus kertas kado warna kuning.
“Thanks, ya!” ujar Tania senang.
“Gue
balik dulu, ya! gue udah ditunggu dosen gue, nih dikampus! Bye!” Sarah keluar dari rumah kos yang ditempati Tania dan segera memasuki
mobilnya.
Tania
menghela napas lega. Setelah lulus SMA, Sarah melanjutkan kuliahnya di Jakarta.
Ia memilih jurusan kedokteran. Tania ikut senang, akhirnya Sarah bisa masuk universitas
yang Ia dambakan. Sedangkan dia sendiri? Tania memilih untuk tidak melanjutkan
kuliahnya. Keadaan memaksanya untuk tidak kuliah, setidaknya untuk setahun
kedepan saja. Tahun depan Ia bertekad masuk UI fakultas Sastra Indonesia. Ia
harus bekerja menghidupi dirinya sendiri. Ia bekerja di sebuah toko roti
sebagai pelayan. Disisi lain, ada yang lebih membuatnya lebih senang. Walaupun
belum kuliah, Ia sudah berhasil menerbitkan satu buku novel hasil karyanya.
Memang bukan buku best seller, namun
bukan berarti tidak ada yang membeli bukunya, kan?
Tania memandangi
mobil merah yang sudah melesat cepat meninggalkan rumah kos-nya itu. Lalu
matanya menerawang, menatap awan di langit yang berserakan.
“Takdir orang
berbeda-beda, ya. Makanya semua orang punya kelebihan dan kekurangan
masing-masing. Coba semua orang di dunia ini berpikir pengen jadi dokter, terus
semua orang jadi dokter! Terus siapa pasiennya?” Tania tertawa renyah. Akhirnya
Ia percaya dengan Ibunya, bahwa segala usahanya pasti akan dibalas! Walaupun
bukan hari itu juga.
“Yang penting
berusaha keras, sabar, ikhlas, dan tetap tersenyum!” Tania mengingat kembali
kalimat terakhir yang di lontarkan Ibunya sebelum ajal menjemput. “Tapi Ibu
kurang satu hal....”
“ Doa!” ujar Tania
sambil tersenyum manis.
Selesai :)) ini nih penyakit gua! bikin cerita tapi gak tau judul -__- sebenernya ceritanya biasa. asli biasa banget. tapi gua suka, soalnya ini cerita panjang yang berhasil gua selesain wkwk. gua sering bikin ginian, tapi gak pernah selesai. ngegantung, bikin yang lain -__- intinya gua gampang move on (?) udah ah, selamat membaca ^,^
No comments:
Post a Comment