Welcome

WELCOME! YOU FOUND MY PAGE! ENJOY IT :)

Wednesday, January 1, 2014

unknown



Tania berlari keluar dari gang rumahnya, sepatu hitamnya penuh lumpur, sebab semalam hujan deras sehingga jalanan di sekitar rumahnya menjadi becek. Topi, dasi, ikat pinggang hitam, hari ini tidak ada yang tetinggal sama sekali. Ya, hari ini hari Senin. Sudah terbayanglah, bagaimana ribetnya mon(ster)day itu.
            Tania turun dari angkot berwarna biru, kemudian kembali berlari menuju gerbang sekolah. Ia tengok ke langit-langit, bendera merah putih sudah meliuk-liuk diterpa angin. Ia berhenti melangkah, ia sudah tahu apa yang harus dia lakukan sekarang. Menunggu dibalik gerbang sekolah sampai upacara berakhir.
            20 menit? 30 menit? 50 menit? 60 menit?? Dari tadi Tania melirik kearah jam tangan berwarna kuning yang Ia pakai. “Pembina upacara meninggalkan lapangan upacara” suara itu terdengar dari dalam sekolah. Tania mengempalkan tangannya hatinya berseru ‘yes’
            Gerbang sekolah pun dibuka, Tania pun bergegas masuk ke dalam sekolah. Namun usahanya dicegat oleh seorang satpam. Membuat Tania berhenti melangkah, Ia berbalik menghampiri satpam tersebut. Lalu satpam tersebut menanyakan alasan keterlambatan Tania dan mencatatnya di buku piket. Setelah memberi salam, Tania bergegas masuk ke dalam kelasnya. Dilihatnya wajah teman-temannya penuh peluh.
            “Lo kok gak dateng pagi?” tanya Sarah, teman sekelas Tania. Sarah menatap Tania jengkel.
            “Lo tau kan, kebiasaan gue setiap hari Senin? Telat!” jawab Tania sambil duduk di bangku.
            “Tapi hari ini lo seharusnya jadi pengibar bendera, kan!” Kevin mengingatkan.
Hah? Tania tampak bingung, Ia tak mengerti.
            “Emang iya?”
            “Lo kan waktu itu disuruh Bu Eka buat jadi petugas! Lo lupa?” tanya Sarah. Ia gak habis pikir dengan temannya yang sudah kebelet pengen pikun ini!
            Tania hanya bisa membentuk mulutnya menjadi huruf O. Dan mengangguk-angguk tak berdosa.
            “Gimana pr matematikanya? Susah banget, ya!” Kevin mengganti topik. Mendengar kata matematika tiba-tiba ada sebersit kilat yang membara di dalam bola mata Tania.
            “Gue udah, tapi gue gak yakin sama jawaban gue” Akhirnya Tania menjawab.
            “Oh iya! Gue lupa ngerjain! Gimana, dong? Matematika pelajaran pertama lagi!” Sarah panik sendiri.
            “Hoo, jadi semalem lo gak ngerjain! Gara-gara jadi pembaca UUD 45, kan?” tanya Tania menebak.
            “Gak ngefek kaliii! Lagian lebay banget sampai segitunya!” Sarah menoyor kepala Tania pelan.
            Bunyi sepatu high heels Bu Tika terdengar memasuki kelas. Sarah menghela napas kesal, ia tertunduk di bangkunya. Guru muda nan cantik namun super galak itu berjalan berlagak kayak Megan Fox. Tania cekikikan sendiri.
            “Mudah kan pr-nya?” tanya Bu Tika. Anak-anak sekelas hanya bisa mengangguk-angguk.
            “Lupain aja pr-nya!” lanjutnya, senyuman puas mengambang dari mulut Sarah. Sorak gembira sekelas terdengar kencang sekali.
            “Mending kita ulangan aja!” Bu Tika menatap datar siswa-sisa yang ada di depannya. Kericuhan yang tadi sempat terdengar berubah menjadi keheningan. Mereka hanya menatap Bu Tika dengan penuh tanya.
Tok tok tok
            Bunyi hak sepatu Bu Tika mengganggu ketenangan Tania yang sedang mengerjakan ulangan.
            “15 menit lagi!” Bu Tika mengingatkan.
            Heelsnya berisik banget! –batin Tania.
            “Yang udah, kumpulin aja!” perintah Bu Tika.
            Cih!! Nakutin gue aja! –Tania membatin lagi.
            Sarah dan keempat teman lainnya mengumpulkan lembar ulangan ke Bu Tika. Sarah dengan percaya diri mengumpulkannya, kemudian kembali ketempat duduknya.
            “Lo udah?” bisik Tania kepada Sarah yang duduk didepannya.
            Sarah memutar kepalanya kebelakang, “Gue emang males sih ngerjain pr, tapi gue yakin kok nilai-nilai ulangan gue tetep bagus-bagus” jawab Sarah kemudian memutar balik kepalanya. Tania tertegun.
            Siapa yang tidak mengenal Sarah. Anak kelas 8-1 yang pintar, cantik, jago main biola, gitar dan piano, kebanggaan kelas.  Sedangkan Tania, murid kelas 7-5 –kelas paling ‘rendah’ harus mati-matian untuk naik kelas dan mendapatkan kelas 8-1. Ia memang harus meninggalkan sahabat-sahabatnya di kelas 8-5.
            “Nia! Lo bisa! Cewek sombong  gituan gak usah dipikirin! Please, elo bisa!” batin Tania bersemangat.
* * *
Jreng! Jreng!
Perhatian-perhatian! Ulangan matematika kelas 8-1 akan segera dibagikan! Harap tenang!
            Tania menghela napas kesal. Sorak-sorak gembira terdengar di depan sana, sekarang saatnya Tania menerima kertas pembawa sial itu. Senyum bodohnya muncul membaca tulisan merah padam di kertas itu. REMEDIAL.
            “Sar, nilai elo berapa?”
            “95! Elo?” tanya Sarah.
Deg!
            “Gue.... gue gak mau sombong soal nilai! Jadi... yah! Gue gak bakal kasih tau nilai gue! Maaf, ya!” lagak Tania, lalu Ia berjalan melenggak lenggok ke arah bangkunya.
            “Yang remedial! Ditunggu diruang guru pas istirahat, ya! untuk Ari, dan Tania! Oke!” pemberitahuan Bu Tika.
            Sial itu guru! Gak bisa kerja sama apa sama gue! –Tania mengutuk guru itu habis-habisan dalam hati.
            Sarah memutar kepalanya kebelakang, tampak Tania yang tengah sibuk membaca buku kimianya. Sarah hanya mendengus.
            Speak, doang! Gembel banget! Gak pusing apa baca buku kimia kebalik kayak gitu??” ujar Sarah sambil tertawa.
            Dibalik buku kimianya Tania merasa sangat malu. Ia terus menggigit bibirnya sedangkan hatinya terus memaki Sarah dalam diam. Selang beberapa menit, Tania baru sadar kalau buku kimianya terbalik.
            Kok gue jadi malu banget gini, sih! Harusnya tadi gue diem aja, gak usah nanya ke dia! –batin Tania.
            Kalo misalnya gue bisa, lo mau ngomong apa?! –Tania lagi-lagi membatin.
            “Kalo aja bisa! Kalo kagak?” suara itu terdengar dari mulut Ringgo. Ternyata dia sedang bercengkrama dengan temannya. Tania mengkerutkan keningnya. Tania tahu kalimat itu bukan untuknya, namun Ia tersdar bahwa kalimat itu tepat untuknya.
            Iya juga, ya! itu kalo gue bisa, kalo kagak? –pikir Tania. Wajah melasnya muncul ketika melihat Bu Tika menuliskan soal latihan di papan tulis.
            Kenapa gue harus belajar matematika, sih? Gue kan maunya jadi penulis! –batin Tania.
* * *
            Tania perang mati-matian saat istirahat kemarin. Soal matematika bagaikan makanan yang bakal membuat alerginya kambuh, tapi musti dia makan bulat-bulat. Mungkin matematika itu asupan penting untuk memenuhi kriteria empat sehat lima sempurna. Setelah selesai mengerjakan soal remedial, Bu Tika langsung mengkoreksinya dan membagikan hasilnya kepada Tania dan teman-temannya. Dan hasilnya.... dibawah KKM (Kriteria Kelulusan Minimal). Sedangakan Ari, mendapatkan nilai 85 setelah remedial.
            Bisa dibayangin, dari kelas Tania hanya dua orang yang remedial. Sedangkan kelas lain, banyak murid yang remedial.
            Intinya gue cewek bego, dong? –pikir Tania.
            Ah, engga juga, sih! Kalo di kelas gue, emang gue yang paling bego. Tapi mungkin kalo di kelas lain, gue itu paling pinter! –Tania berpikir ulang.
            Bel tanda istirahat berakhir terdengar memenuhi satu sekolah, pelajaran selanjutnya adalah bahasa inggris. Pelajaran kesukaan Tania, hehe. Walaupun tidak terlalu mahir berbahasa inggris, tapi Tania selalu menunggu pelajaran ini. Bu Indah, guru bahasa inggris pun memasuki kelas Tania.
            Good morning all!” sapa Bu Indah dengan ramah. Serentak murid-murid membalas salam tersebut.
            “Today I’ll give you a task! Please write down or if you can just imagine it, no problem for me! I want you to tell about your experience in front of the class. I give you 20 minutes from now! I’ll be back!”
Deg!
            Gue suka bahasa inggris, tapi gue gak terlalu bisa bahasa inggris! Gimana dong? –pikir Tania.
            “Bu, saya belum bisa bahasa inggris! Gimana dong, bu?” Tania mengangkat tangannya sebelum Bu Idah pergi keluar kelas. Tampang polosnya berhasil membuat mata anak-anak kelas tertuju padanya.
            Just do it!” perintah Bu Indah. Lalu melenggang keluar kelas.
            Tania dapat mendengarkan tawa cekikan dari bangku  di belakangnya, Ia juga melihat teman-teman di depannya yang mengobrol pelan sambil sesekali melirik ke arah Tania. Tapi Tania tidak peduli, itu bukan urusannya sekarang!
            20 menit pun berlalu, Bu Indah masuk lagi ke dalam kelas.
            “Finish?” tanya Bu Indah. Tanpa menunggu jawaban Bu Indah langsung berkata, “Okay, let me call you one by one”
            Tania tidak tenang, ceritanya hanya cerita singkat. Sedangkan teman sebangkunya menulis cerita yang hampir penuh sehalaman. Bukan cuma itu! Ia juga takut kualitas speaking-nya dianggap payah oleh teman-temannya.
            “Sarah!” pinta Bu Indah. Dengan percaya diri Sarah maju ke depan kelas.
            Dengan lantang dan lancar Sarah membacakan karangannya. Tania tidak begitu ngerti apa  yang diucapkan Sarah. Intinya, dia memberitahu bahwa waktu Ia SD, Ia pernah diajak ayahnya ke Singapura buat liburan. Habis ke Singapura, mamanya ngajak Sarah ke Thailand. Dan bla...bla...bla.... di telinga Tania itu terdengar seperti pamer pengalaman!
            Tania menghela napas. Tidak dapat dipungkiri, cewek yang sedang berdiri di depan kelas itu benar-benar sempurna!
            Thats all from me, thanks for your attention!” Sarah mengakhiri ucapannya.
            Semuanya bertepuk tangan meriah, Tania ikut-ikutan.
            Good job! Now, please choose one of them to be the next speaker!” perintah Bu Indah.
            Tania mulai gelisah, kakinya terus berdendang kencang.
            Sarah memperhatikan teman-temannya dengan gaya centil. Matanya menatap teman-teman di depannya secara bergantian. Tania susah payah menelan ludah, kakinya terus terhentak ke bawah. Caranya untuk menghilangkan rasa gelisah.
            “Peri kecil kita yang tengah gelisah! Tania!” mata Sarah tertuju pada Tania yang sibuk membaca ulang karangannya.
Betulkan!
            Dengan hati yang berdebar-debar Tania maju kedepan kelas. Ia menatapi wajah teman-temannya yang sepertinya tengah sibuk mengosipinya atau sekedar menertawainya.
            Tania pun mulai. Awalnya Ia masih terpaku teks, namun lama kelamaan Ia dapat melanjutkan sendiri ceritanya tanpa terpaku teks. Sesekali Ia melontarkan lawakan yang membuat teman-temannya tertawa.
            Fyuuuh! Tania menghela napas lega setelah mengucapkan salam penutup. Gemuruh tepuk tangan yang Ia dapatkan. Padahal awalnya Ia berpikir bahwa lawakannya bakal garing, ternyata teman-temannya tertawa dan Tania senang akan hal itu. Tania kembali ketempat duduknya, Ia tak beerhenti tersenyum hari itu.
            Gue gak setakut yang dulu! –batin Tania.

* * *
            Pr fisika Tania sudah selasai dikerjakan. Apapun hasilnya biarin aja! Jam beker di kamar Tania sudah menunjukkan pukul 11 malam. Tania pun menyiapkan buku-buku untuk besok.
            “Fisika, b indo, PAI, biologi.....” Tania membaca jadwal pelajarannya. Tania terdiam melihat tulisan BIOLOGI di jadwal pelajarannya.
            Biologi? Ohiya, besok ada biologi!–pikir Tania. Kemudian dia memasukkan buku-buku sesuai jadwal itu. Lalu Ia membuka lembar notesnya, setelah menemukan halaman yang Ia cari, Tania langsung membaca satu per satu tugas dan ulangan yang harus Ia lalui minggu ini. Matanya berhenti bergerak, Ia fokus terhadap satu tulisan capslock yang keciiil banget font-nya. Matanya memaku tulisan itu dalam otaknya. BIOLOGI ULANGAN.
            Ulangan!? –pikir Tania sekali lagi. Ia berpikir keras, apa itu guru pernah bilang ulangan??
            Tania membulatkan matanya empat kali lebih besar, mulutnya membentuk huruf O. Ia segera mengambil buku biologi dari tasnya dan berlari menuju meja belajarnya. Ia buka buku biologi bab 3.
            “Oke! Malem ini gak boleh tidur! Begadang!! Harus belajar! Hafalin! Hafalin!!” ujar Tania semangat sambil mengepalkan tangan.

* * *

Tik Tik Tik.
Jam beker Tania baru saja menunjukkan pukul 05.00 pagi.
Kring!! Kring!! Kring!!
            “Hoammmm!” Tania mengangkat kepalanya dan merenggangkan ototnya yang pegal. Ia melirik ke arah meja belajarnya. Buku biologi?
            “Ya Allah! Kok gue jadi ketiduran? Gue kan mau begadang?!!” teriak Tania kesal. ia buka lagi lembaran buku itu selanjutnya. Masih 16 halaman lagi!!??
            “Tania! Cepetan bangun! Terus mandi!” panggil Ibunya. Tania menghela napas kesal. ia ambil handuk dan membawa handuk itu ke dalam kamar mandi sekaligus buku biologinya.
            Tania bergegas mengambil tasnya dan berlari ke ruang makan sambil terus menghafal.
            “Pagi, bu!” ujar Tania kepada ibu yang tengah membawa semangkok sup ayam lalu di letakkan di atas meja
            “Tania!!!!” teriak Ibu kesal.
            “Apaan, bu?” tanya Tania panik.
            “Buku biologimu basah! Kamu apain?” Ibu marah.
            “Ooohh! Ini! Habis dibaca!” jawab Tania ringan.
            “Dibaca gak mungkin bisa basah gitu!” Ibu mulai curiga.
            “Belajarnya kan di kamar mandi” Tania memberitahu lagi, Ia terkekeh menatap Ibunya.
            “Ada ada aja kamu ini! Buku mahal tau, jaga baik-baik! Sampul sekalian” saran Ibu.
            “Iya, bu” jawab Tania malas, lalu kembali menghapal.
            “Cepet makan sana!” Ibu mengambilkan sepiring nasi untuk Tania.
            “Makasih, bu!”
* * *



            “Silahkan mengerjakan!” perintah Bi Ina, guru biologi.
            Tania baca perlahan soal-soal itu, keningnya berkerut melihat soal pertama. Pahanya saling bergesek-gesekan. Akhirnya soal pertama berhasil Ia jawab. Lalu gelisah menderanya, Ia tak mau mengecewakan Ibu lagi. Ia harap nilai matematika yang kemarin menjadi nilai jelek terakhir selama hidupnya.
            Sesekali Tania melirik ke bangku di sampingnya. Temannya itu mengerjakan dengan tenang, tanpa hambatan. Pulpen hitam itu terus menari di lembar jawabannya. Terbesit niat licik di kepala Tania. Keadaan sedang sepi, dan Bu Ina hanya duduk di meja guru sambil mengkoreksi nilai kelas lain. Dan posisi lembar jawaban teman sebangkunya itu yang dapat dengan mudah Ia lihat.
            Tania tersadar, lalu Ia menggelengkan kepala. Ia menolak mentah-mentah ide licik itu. Tapi di sisi lain Ia lelah harus remedial terus menerus. Tania menarik napas lalu menghembukannya perlahan. Ia menenangkan dirinya, berharap ide yang hanya membuat Ibunya tambah kecewa itu lenyap seketika tak berbekas.
            Ia mengambil pulpennya lagi, bersiap menjawab pertanyaan selanjutnya. Tapi Ia sadar, Ia tidak tahu sama sekali jawaban soal itu. Hapalannya musnah dalam sekejap, Ia hanya menjerit kesal dalam hati. Sesekali Ia melirik lagi teman sebangkunya itu. Ide licik itu datang lagi.
“Huffttt, sabar, Nia.....” Tania membatin.
* * *

            65! 65! 65!
            Tania tertunduk kesal, nilai ulangan biolonginya dibawah KKM  lagi!
            Coba gue sekelas sama sahabat-sahabat gue! Nilai segini bakal jadi nilai tertinggi –batin Tania.
            “Nilai elo berapa?” Sarah menghampiri Tania.
            “Elo?” Tania tanya balik.
            “Nilai gue...” Sarah menjawab.
            “Udah! Udah! Gak usah! Ngapain gue nanyain nilai lo!” potong Tania kesal.
            “Yailaah! Lu yang nanya juga! Aneh, lo! Tapi ada benernya juga, sih! Buat apa lo tanya, nilai gue emang selalu begitu!” Sarah meninggalkan Tania.
            ‘Begitu’? hoo ‘begitu’ itu maksudnya nilai dia selalu bagus? Hoo, menurut gue nilai dia gak seberapa bagi gue! Palingan beda dikit! –batin Tania, tanpa sadar Ia mendengus kencang.
            “Sedikit itu seberapa? 20? 30?” Suara Ringgo terdengar sampai meja Tania, Ringgo sedang ngobrol ria dengan temannya saat itu. Tania mengkerutkan keningnya. Lagi-lagi kalimat itu memang bukan buat dia, tapi selalu saja tepat dengan jalan pikiran Tania.
Jleb!?
            Sialan banget si Ringgo! Kenapa setiap apa yang gue pikirin, pasti dia tiba-tiba ngomong yang pas banget buat ngejek pikiran gue? Dasar! –batin Tania kesal.

* * *

            “Bu, aku mau masuk sekolah menulis aja deh, Bu!” rengek Tania.
            “Pas TK sama kelas 1 SD kan udah?” tanya Ibu.
Hah?!
            “Bukan, Bu! Sekolah.... ya! pelajarannya itu mengarang, belajar ilmu bahasa yang gak berhubungan sama sekali sama matematika! Gitulah, bu! Aku mau sekolah sastra!” Tania memperjelas maksudnya.
            “Nak! Kamu mau tau gak kenapa kita harus belajar matematika?” tanya ibunya. Tania hanya manyun lalu menggelengkan kepalanya pelan.
            “Nia! Percuma kamu nanti jadi penulis terkenal tapi gak bisa ngitung! Kamu bakal ditipu! Nih, contoh kecil aja! Kamu beli mangga 1 kilo 12 ribu, terus beli jeruk 1 kilo 5 ribu! Tapi kamu gak bakal tau kan harus ngasih uang berapa? Makanya matematika itu perlu!” jelas Ibu panjang lebar. Tania hanya diam.
            “Kamu juga gak bakal sukses kalo kamu tetep mikir kayak gitu!” sahut Ibunya.
            “Yaampun, Bu! Itumah matematika gampang! Emang ngitung duit pake aljabar? Terus ngapain pake nyari x dan y? Orang tiap hari ketemu kok sama kedua huruf itu! Sejak kapan x dan y sama dengan angka! Terus buat apa kita....” Tania mengungkapkan kekesalannya panjang lebar.
            “Tania, stop!” Ibu memandang Tania dengan datar. Kalimat terakhir Ibu mampu membuatnya terdiam, dan hanya bisa menundukkan kepala.
            “Sekarang kamu bisa bilang, pelajaran kayak gitu gak penting, tapi suatu hari kamu bakal butuh.... walaupun nanti kamu SMA milih jurusan IPS atau Bahasa, sama aja kamu bakal ketemu matematika!” Ibu berbicara dengan cepat, emosinya meningkat. Setelah mengucapkan kalimat terakhir, Ibu menghela napas. Mengatur emosi. Tania masih terdiam.
            “Kamu bukan gak bisa, tapi belum bisa” suara Ibu berubah menjadi lembut, seperti menahan emosi, “Kamu gak bisa selamanya nyalahin keadaan karena ketidakmampuan kamu menjalani keadaan itu. Sesekali kamu harus liat dari diri kamu, apa yang salah dari kamu?” Air mata Tania sukses mengalir dengan mulus. Ia membekap wajahnya dengan kedua tangannya. Ia lelah. Lelah menerima keadaan bahwa usaha kerasnya selama ini untuk mendapatkan nilai bagus hanya sia-sia.
            Berkali-kali remedial yang harus Ia lalui. Mengulang kembali pelajaran yang sudah lewat padahal Ia juga harus mempelajari bab yang dibahas selanjutnya. Mengejar guru hanya untuk mendapatkan nilai tambahan. Begadang sampai jam dua pagi untuk menyelesaikan pr yang tidak berhasil Ia temukan jawabannya. Melihat teman-temannya yang tersenyum senang sambil pamer-pamer nilai. Tersiksa karena selalu terbesit ide licik setiap kali ulangan! Di sisi lain Ia mengharapkan niali bagus, namun di sisi lain Ia gak mau melakukan hal gak pantas kayak gitu.
            Ibu merangkul bahu anak semata wayangnya itu sambil mengusap bahunya pelan. Keadaan memaksa Ibu untuk menjadi single parent, karena suaminya sudah meninggal dan Ia harus berkerja keras, Ibu jadi jarang berkomunikasi dengan Tania. Gadis kecilnya kini bertambah dewasa, Ia bukan lagi anak kecil yang duduk manis sambil menunggu permen lolipopnya datang lalu bercerita tentang teman-temannya di taman kanak-kanak. Anaknya kini lebih menutup diri, menyelesaikan masalahnya sendiri. Sering kali Ibu mendengar Tania menangis di balik pintu kamarnya. Dan keesokkan harinya Tania enggan bercerita dan hanya tersenyum simpul.
            “Tapi ada untungnya loh remedial” Ibu berusaha menenangkan, “Remedial berarti kan kamu ngulang pelajaran yang lalu, jadi nanti pas UN kamu gak perlu belajar mati-matian!” Tania tertawa. Senang rasanya dapat melihat tawa bahagia dari anaknya itu.
            “Sekarang kamu lalui aja dulu yang ada, suatu hari nanti usahamu pasti terbalas. Ibu yakin! Kamu harus terus berjuang! Ibu pikir hambatan yang membuat kamu sulit nerima suatu pelajaran itu... kamu kurang ikhlas menjalankannya” Tania terdiam, mungkin benar apa yang dikatakan Ibu. Selama ini Ia hanya menganggap matematika itu pelajaran yang gak penting dan gak seru! Selama pelajaran matematika di sekolah pun, Tania ogah-ogahan mendengarkan penjelasan yang membutuhkan konsentrasi ekstra itu. Tania mengangguk, Ia mengerti sekarang. Ia memeluk Ibunya erat malam itu.
* * *
           
            Mungkin memang Tania tidak sehebat Sarah, Tania sadar benar akan hal itu. Hari ini pengambilan rapor semester ganjil. Tania menunggu di luar kelas, menunggu Ibunya untuk tersenyum bangga terhadap nilainya. Tania terus berdoa, di hatinya hanya ada satu harapan untuk saat ini, yaitu Ibunya keluar sambil tersenyum lebar melihat nilai rapornya.
            Ibunya pun keluar dari kelas Tania sambil terus tersenyum lebar.
            “Bu, gimana nilai Tania?” Tanya Tania tidak sabar.
            “Lumayan” jawab Ibu. Tania mengambil rapornya dari tangan Ibunya. Senyuman tipis diukir manis oleh Tania, matanya memerah. Lalu air matanya jatuh. Cepat-cepat Ia menghapusnya.
            “Hanya kurang maksimal! tingkatkan lagi, ya Tania!” Ibu menyemangati.
            “Ibu pikir aku nangis gara-gara nilaiku tetep kecil? Gak kok, bu! Aku nangis liat nilai aku naik satu angka, bu! Walaupun cuma beberapa, Tania udah seneng kok, bu!” Tania memperlihatkan nilai-nilainya yang naik kepada Ibunya lalu Ia memeluk ibunya erat-erat.
            Semoga hari esok lebih baik lagi!
* * *
            “Nia, happy birthday, ya! semoga karya-karya elo jadi karya yang dinanti-nanti banyak orang!” Sarah mengulurkan tangannya, Tania menyambutnya dengan senang.
            “Hadiah buat lo! Semoga lo suka!” tambahnya sambil menyodorkan sebuah hadiah  yang dibungkus kertas kado warna kuning.
            Thanks, ya!” ujar Tania senang.
            “Gue balik dulu, ya! gue udah ditunggu dosen gue, nih dikampus! Bye!” Sarah keluar dari rumah kos yang ditempati Tania dan segera memasuki mobilnya.
            Tania menghela napas lega. Setelah lulus SMA, Sarah melanjutkan kuliahnya di Jakarta. Ia memilih jurusan kedokteran. Tania ikut senang, akhirnya Sarah bisa masuk universitas yang Ia dambakan. Sedangkan dia sendiri? Tania memilih untuk tidak melanjutkan kuliahnya. Keadaan memaksanya untuk tidak kuliah, setidaknya untuk setahun kedepan saja. Tahun depan Ia bertekad masuk UI fakultas Sastra Indonesia. Ia harus bekerja menghidupi dirinya sendiri. Ia bekerja di sebuah toko roti sebagai pelayan. Disisi lain, ada yang lebih membuatnya lebih senang. Walaupun belum kuliah, Ia sudah berhasil menerbitkan satu buku novel hasil karyanya. Memang bukan buku best seller, namun bukan berarti tidak ada yang membeli bukunya, kan?
Tania memandangi mobil merah yang sudah melesat cepat meninggalkan rumah kos-nya itu. Lalu matanya menerawang, menatap awan di langit yang berserakan.
“Takdir orang berbeda-beda, ya. Makanya semua orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Coba semua orang di dunia ini berpikir pengen jadi dokter, terus semua orang jadi dokter! Terus siapa pasiennya?” Tania tertawa renyah. Akhirnya Ia percaya dengan Ibunya, bahwa segala usahanya pasti akan dibalas! Walaupun bukan hari itu juga.
“Yang penting berusaha keras, sabar, ikhlas, dan tetap tersenyum!” Tania mengingat kembali kalimat terakhir yang di lontarkan Ibunya sebelum ajal menjemput. “Tapi Ibu kurang satu hal....”
“ Doa!” ujar Tania sambil tersenyum manis.



Selesai :)) ini nih penyakit gua! bikin cerita tapi gak tau judul -__-  sebenernya ceritanya biasa. asli biasa banget. tapi gua suka, soalnya ini cerita panjang yang berhasil gua selesain wkwk. gua sering bikin ginian, tapi gak pernah selesai. ngegantung, bikin yang lain -__- intinya gua gampang move on (?) udah ah, selamat membaca ^,^

No comments:

Post a Comment