Welcome

WELCOME! YOU FOUND MY PAGE! ENJOY IT :)

Monday, January 13, 2014

dentingan nada terakhir



Dentingan Nada Terakhir

Matahari mulai menampakkan sinar kemerahannya, dan perlahan menghilang diantara kapas kapas yang berserakan. Seorang gadis mengayuh sepedanya dengan susah payah. Peluh yang bergelantungan di dahinya kini berluncuran begitu saja melewati mata dan hidungnya. Rambutnya yang terikat kuda terlihat berantakan. Lutut kanannya terluka dan belum sempat diobati. Ia kini membayangkan wajah Ibunya yang diam terpaku sambil memegangi mulutnya ketika melihat luka dan goresan yang gadis ini dapatkan.
            Suara klakson mobil membuyarkan lamunannya. Gadis itu hilang keseimbangannya dan hampir terjatuh.
            “Maaf!” teriaknya kepada pengemudi mobil yang tampaknya tidak mendengarkan. Mobil itu terus melaju kencang.
            Gadis itu menghela napas dan kembali mengayuh sepedanya pulang.
***
            Sudah 20 menit berlalu semenjak gadis itu memasuki rumahnya. Ia hanya berdiri menuduk, tidak berani menatap Ibunya.
            “Dhifa, sepertinya kamu harus berhenti bermain bola” suara Ibunya sedikit pelan namun tegas.
            Gadis yang dipanggil Dhifa itu terkejut. Ia mendongak untuk menatap Ibunya. Matanya  melebar dan mulai berkaca-kaca.
            “Kenapa?” tanyanya.
            “Ya, kamu tahu. Ibu hanya tidak ingin kamu telihat seperti...”
            “Laki-laki?” tanya Dhifa menyelidik.
            “Ya” jawab Ibu, “Kamu tahu, semua orang bilang kalau kamu adalah anak yang cantik, manis, baik. Jadi... menurut Ibu carilah kegiatan yang membuatmu terlihat seperti perempuan pada umumnya” lanjutnya.
            Dhifa tersenyum samar, “Akan kucoba, bu. Ohya, maaf bu tadi aku menyela”
            “Ibu selalu memaafkanmu” Ibu tersenyum dan itu membuat Dhifa ikut tersenyum.
***
            5 menit lagi! Gumam Dhifa sambil berlari menuju kelasnya. Ketika Dhifa membuka pintu kelas, ia mendapati suasana yang sama seperti pagi yang lalu. Teman temannya yang sibuk mengerjakan PR.
            “Dif!” seseorang memanggilnya, “Bagaimana PR-mu? Apa aku boleh pinjam?” tanyanya.
             “Hei, sampai kapan kau mau mendapat nilai jelek? Walaupun dia rajin mengerjakan PR, nilai dia selalu jelek. Semua tahu itu” golak tawa terdengar memenuhi ruang kelas itu.
            “Benar juga! Oh, kuharap ada orang pintar yang mau meminjamkan PR-nya padaku”
            Dhifa hanya tersenyum tipis dan melanjutkan langkahnya. Ia tidak benar-benar mendengar teman-temannya lagi. Ia duduk di bangkunya dan memikirkan sesuatu yang tidak jelas.
            Bel tanda masuk pun dibunyikan. Kegaduhan di kelas pun meredam seketika. Beberapa menit kemudian masuklah Pak Edi, guru matematika ke kelas Dhifa.
            “Pagi” sapanya datar, “Bagaimana PR-nya? Bapak harap kalian tidak menyalah artikan apa PR itu” lanjutnya seolah sudah melihat kegaduhan yang tadi terjadi.
            Pak Edi tersenyum tipislalu mendengus, “Kalian tahu? PR itu singkatan dari pekerjaan rumah” bisiknya. “Baiklah, simpan dulu masalah PR, kalian ingin tahu nilai ulangan kalian kemarin?” Dhifa danteman-temannya hanya bisa diam seribu bahasa.
            “Heemm” gumam Pak Edi sambil melihat-lihat hasil ulangan, “Dhifa?” matanya mencari cari sosok gadis bermata bulat itu.
            “Ya?” suara Dhifa serak seketika.
            “Kamu tahu, ini adalah pelajaran kelas 8 tentang garis singgung. Bapak hanya mengulangnya karena sebentar lagi kalian akan UN. Kenapa nilaimu masih jelek? Ayolah, Ayahmu dulu seorang dosen matematika di salah satu universitas ternama, kan?”

            Dhifa terdiam, ia telah larut dalam pikirannya sendiri. Kedua orang tuanya bercerai 3 tahun yang lalu. Dhifa tinggal bersama Ibunya yang menjadi pelukis. Ibunya memang bukan pelukis profesional, tapi banyak orang yang tertarik untuk membeli lukisan buatan Ibunya. Ayahnya sudah menikah lagi dengan wanita keturunan Jepang. Dan sekarang menetap di Jerman. Ya, memang dulu Ayahnya adalah dosen matematika di salah satu universitas ternama di Jakarta. Namun Ayahnya tidak pernah mengajarinya saat mereka masih tinggal bertiga –Dhifaadalah anak tunggal. Ayah Dhifa tidak segan jika mahasiswanya datang ke rumah sekedar untuk belajar. Dari pagi hingga matahari tenggelam pun Ayahnya masih bersedia mengajari mahasiswanya. Hanya saja Ayahnya tidak pernah mempunyai waktu untuk mengajari Dhifa soal aritmatika, bangun ruang, atau sebagainya yang bisa Ayahnya selesaikan dalam waktu satu menit saja –bahkan kurang.
            “Dhifa!” panggilan Pak Edi membuyarkan lamunannya, “Sebaiknya kamu punya teman belajar” Pak Edi menyarankan.
            “Ya” jawab Dhifa malas.
            “Lebih baik kamu mulai belajar dengan.. hhmm.. Fahri”
            Semua mata kini tertuju pada seseorang yang dipanggil Fahri itu. Dhifa ikut menatap Fahri yang tinggi, ceking, dan berwajah pucat.
            “Baiklah Dhifa, mulai sekarang jika ada yang tidak kamu mengerti, tanyakan saja kepada Fahri. Dan bapak harap kamu berhenti bermain bola” Dhifa mengalihkan pandangannya ke Pak Edi yang sedang membuka buku paket matematika. Kenapa semua orang berkata seperti itu? Sudahlah! Aku tahu. Gumam Dhifa dalam hati.
            “Mari kita belajar anak-anak!”
***
            Dhifa sepertinya lupa atau sengaja melupakan saran dari Ibunya dan Pak Edi. Istirahat hari ini pun ia tetap bermain bola dengan teman laki-lakinya. Seorang temannya menendang bola dengan cukup keras dan akhirnya terlempar jauh dari area mereka bermain.
            “Fa! Tolong ambilkan!” pinta salah satu dari mereka.
            Dhifa berjalan dengan langkah lebar, bola itu sudah di tangannya. Kemudian ia melihat sosok Fahri yang sedang duduk di bangku panjangsambil menikmati lagu dari iPod-nya. Ia jadi teringat apa yang Pak Edi katakan, dan sekarang ia terbayang soal matematika yang diberikan Pak Edi untuk diselesaikan di rumah.
            ”Dhifaaaa!” teriakan temannya itu membuyarkan lamunannya. Dhifa menatap bola yang ada ditangannya kemudian melemparnya dengan kencang.
            “Aku udahaaan!” teriak Dhifa kepada teman-temannya. Ia pun berlari ke kelas mengambil buku dan pensil. Lima menit berselang, Dhifa pun keluar dan menghampiri Fahri. Dhifa terlihat canggung, ia bingung mau berkata apa. Karena orang yang akan dihadapinya adalah orang yang jarang berbicara dan sepertinya pemalu.
            “Hai” sapa Dhifa.
            “Nomor berapa?” Fahri melepas headset-nya dan melirik Dhifa sejenak.
            “Kau tidak membalas sapaanku?” tanya Dhifa kesal.
            “Sudahlah. Cepat beritahu nomor berapa”
            Dhifa memutar bola matanya, “tiga”jawabnya singkat sambil memberikan bukunya. Fahri menerimanya dan mengambil pensil yang ada di atas buku itu. Dengan cepat ia mengerjakan soal tersebut.
            “Selesai. Kembalilah” Fahri mengembalikan buku Dhifa. Dhifamenatapnya heran, alisnya berkerut.
            “Hei, aku meminta kau mengajariku. Kau pikir aku akan mengerti hanya melihat coretanmu?”
            Fahri mendengus, “Ayolah, itu soal yang mudah. Kau pasti bisa mengerjakannya”
            “Kau tidak menjalankan amanat!” mata Dhifa menyipit menatap Fahri.
            “Kau tahu, aku tidak menginginkannya. Ini.. terpaksa” Fahri balas menatap Dhifa.
            Dhifa menghela napas dengan kesal, kemudian berkata “Baiklah, kuharap Pak Edi tidak kecewa ketika memeriksa PR-ku minggu depan”
            “Apa?” Fahri menatap Dhifa heran, “Kau bisa bertanya kepada ayahmu, kan” lanjutnya.
            “Aku tidak pernah bertemu dengannya lagi” jawab Dhifa ringan mencoba menahan rasa kesal dan kecewa mengingat Ayahnya yang pergi begitu saja.
            Seberkas rasa penasaran terlihat dari mata Fahri, namun ia meredamnya lalu mendengus, “Terserahlah” ia membasahi bibirnya yang kering. “Lalu, apa rencanamu?” tambahnya.
            Dhifa berpikir sejenak lalu berkata, “Setiap hari sepulang sekolah. Kau lebih baik mengajariku daripada sibuk mendengarkan lagu”
“Mendengarkan lagu lebih baik daripada mengajarimu” jawabnya cepat sambil beranjak dari kursi panjang dan bersiap menjauh dari gadis yang mengganggu istirahatnya ini.
            Fahri berbalik menatap Dhifa ragu, “Tapi... baiklah. Untung idemu tidak aneh” Ia berjalan ke kelas dengan langkah lebar. Dhifa hanya bisa menatap punggung laki-laki itu dengan alis terangkat. “Sebaiknya hilangkan dulu kebiasaan mendengusmu itu!” Gumam Dhifa.
***
            Seminggu berlalu, Dhifa menghabiskan sorenya dengan belajar bersama Fahri. Laki-laki itu mengajari Dhifa dengan cepat, setiap melihat soal keningnya berkerut serius. Walaupun begitu Dhifa perlahan mengerti apa yang diajarkan laki-laki itu.
            “Selesai!” Gumam Dhifa senang. Matanya kini terarah kepada teman-temannya yang sedang bermain bola kemudianberalih menatap Fahri yang sudah asyik dengan iPod-nya, “Bagaimana kalau kita bermain bola? Aku jarang melihatmu olahraga, kau selalu banyak alasan kalau di ajak olahraga”
            “Tidak” Jawab Fahri singkat.
            “Kenapa wajahmu selalu terlihat pucat? Akhir-akhir ini aku juga sering melihatmu bolak-balik ke UKS” Dhifa penasaran.
“Itu... emm.. tidak! Kenapa aku harus menjawab pertanyaanmu itu? Apa pedulimu mau aku pucat atau tidak?” Fahri mendengus kesal.
“Ah, ya. Benar juga. Buat apa aku peduli” Dhifa menjawab dengan santai.
            “Apa cita-citamu?” pertanyaan itu terlintas seketika di kepala Dhifa.
            Fahri menatap Dhifa heran bercampur bingung, “Apa cita-citamu?” tanyanya balik.
            “Aku ingin menjadi atlet. Tapi entah atlet apa” Dhifa menatap kosong lurus ke depan lalu melanjutkan ceritanya, “Aku ingin menjadi perenang tapi aku tidak tahan berlama-lama di air. Aku ingin jadi pemain basket tapi aku kurang tertarik dengan olahraga itu. Jadi aku mencoba sepak bola. Dan setiap aku bermain bola, aku senang. Sangat senang” Bibirnya terangkat ke atas mengukir senyum.Fahri hanya diam, memikirkan hal yang tidak jelas.
Lalu ia medengus seraya berkata, “Aku ragu apa klub sepakbola Indonesia akan menerima pesepak bola wanita”
Mata Dhifa melebar kemudianmenatap Fahri yang tertawa dengan geram, “Setidaknya aku punya mimpi”
“Apa?”
“Aku kadang kasihan dengan orang yang bisa segalanya namun tidak tahu apa yang mau ia impikan” jawab Dhifa, “Jadi apa cita-citamu?”
Fahri berpikir, ia ingin menjawab tapi ragu sejenak. Akhirnya menjawab, “Lulus sekolah. Mungkin”
“Hei, apa cita-citamu hanya sebatas itu?” Dhifa meninju lengan Fahri pelan sambil tertawa.
“Ya” jawabnya singkat, “Menurutku bermimpi itu melelahkan” tambahnya.
Dhifa menatap Fahri dengan kening berkerut, “Menurutku bermimpi itu perlu. Karena kita tidak tahu batas hidup kita. Saat kita merasa sehat dan baik, ajal datang menjemput begitu saja. Namun adajuga orang yang kalau dibilang... tidak bisa bertahan lebih lama lagi, dia sudah mulai putus asa dengan mimpinya dan menguburnya dalam-dalam. Namun ternyata ia diberi waktu lebih panjang untuk hidup. Dan ia menyesal karena menghabiskan waktunya hanya untuk meratapi kematian yang belum pasti. Menyesal karena mengubursemuanya terlalu dalam”
Dhifa menelan ludah susah payah kemudian membasahi bibir tipisnya. “Senang rasanya berusaha meraih mimpi, walaupun nyatanya sulit. Dimana kau senang bisa memulainya, dimana kau bisa tersenyum dengan satu kemenangan kecil, dimana kau jadi kesal dan kecewa karena merasa tidak melakukannya dengan baik, dimana kau bisa tersenyum memamerkan gigimu saat kau sudah menyelesaikannya –walau itu hanya satu dari beribu rintangan menuju mimpi kita yang sebenarnya”
Fahri menutup rapat mulutnya, lagu bervolume sedang dari iPodyang ia tempelkan di telinganya sudah tidak terdengar jelas lagi. Ia dapat melihat gadis itu menelan ludah dengan susah payah. Ia menunggu gadis itu melanjutkan perkataannya.
“Aku senang melakukan apa yang aku sukai. Aku senang aku diberi kesempatan bermimpi. Walau aku tahu aku tidak bisa meramal kematianku. Walau aku tidak tahu apakah aku masih bisa bernapas detik selanjutnya. Setidaknya ada satu hal yang membuatku bahagia. Aku pernah bermimpi dan aku pernah mencoba mewujudkannya”
            Seulas senyuman lebar tersungging dibibirnya. Fahri masih diam terpakumenatap gadis itu kemudian matanya beralih kedepan menatap matahari yang hampir tenggelam.
            “Indah, ya” Dhifa menatap langit sore kemerahan itu. Dengan satu kalimat tadi Fahri sudah tahu apa yang terlihat indah itu. Fahri terdiam. Berbagai emosi berkelebat di otaknya, ia mulai memikirkan hal yang dikiranya tidak pernah penting itu.
            “Kurasa kau pantas menjadi penyanyi” Dhifa membuyarkan lamunan Fahri.
            “Aku tidak bisa menyanyi” Fahri mendengus kemudian melanjutkan, “Aku tidak pernah berpikir untuk menjadi penyanyi”
            “Kenapa tidak? Kau suka mendengarkan lagu, kan?”
            “Aku suka mendengarkan lagu, namun tidak untuk menyanyi” Fahri menyipitkan matanya menatap Dhifa.
            Dhifa menghela napas kemudian berkata, “Kurasa aku harus pulang, sebelum ibuku khawatir dan menuduhku bermain bola lagi hari ini” Dhifa bangkit dari duduknya sambil mengkrucutkan bibirnya. Terbayang wajah ibunya yang akan menginterogasinya. Fahri tertawa geli melihat tingkah gadis itu.
            Dhifa berjalan begitu saja dengan langkah pelan. Namun, ia terdiam sesaat dan berbalik menatap Fahri, “Terima kasih” ucapnya tulus. Fahri tidak menjawabnya, ia hanya tersenyum lebar mengisyaratkan apa yang seharusnya ia jawab.
***
            Hubungan Dhifa dengan Fahri semakin dekat, mereka terlihat seperti kakak adik yang begitu akur. Namun 1 bulan yang lalu Dhifa mendapati Fahri tidak masuk sekolah. Ia tidak masuk sebulan penuh lamanya. Dhifa mulai heran dan akhirnya bertanya ke guru-guru. Ia mendapatkan informasi yang tidak ingin dia dengar, yaitu Fahri pindah sekolah. Gadis itu sering melamun sekarang, karena ia baru saja kehilangan orang yang sangat baik baginya.
            Saat Dhifa bersiap-siap untuk pulang ke rumah, seorang teman laki-lakinya menghampiri dengan raut datar. Namun, seberkas kesedihan tergambar di matanya. Sebelah tangannya mengusap bahu Dhifa perlahan.
            “Apa?” Dhifa mengangkat sebelah alis.
            “Maaf... kuharap kau ikhlas mendengarnya” seukir senyum masam terukir di wajah laki-laki itu. Kemudian ia berbisik pelan di telinga Dhifa. Dhifa berusaha mencerna, memahami dan menerimanya. Namun hatinya tak mau menerimanya. Rahangnya kaku, ia menatap kosong ke depan, mata bulatnya panas dan akhirnya merah. Butiran itu jatuh sekali, kemudian begitu derasnya sampai tangannya sulit menahannya.
***
            Hari ini langit menyuguhkan sore yang sungguh indah bagi gadis bemata bulat itu. Cahaya matahari bersinar terang mengisi jagat raya ini. Tidak memberikan hawa panas, namun menyusupkan rasa hangat dalam dirinya. Dia terduduk lemah. Dengan baju hitam polos, ia terus meneteskan air mata. Sebuah papan kayu yang mengukir nama orang itu membuat dadanya sesak. Dia kehilangan lagi. Kedua kalinya setelah ayahnya.
            Matanya merah sembab. Tidak terhitung lagi berapa tetes air mata yang ia keluarkan. Berharap ini terakhir kalinya ia kehilangan. Ia tersenyum pahit, badannya terkuncang menahan sesak. Ibunya hanya mengusap punggung putri tunggalnya itu pelan berusaha menghantarkan hangat dan semangat.
            Beberapa menit kemudian seseorang wanita paruh baya berbadan ramping menghampirinya. Ia berbicara kepada gadis itu. Namun, sepertinya tidak didengarkan karena emosi yang bercampur di hatinya. Ada rasa sedih bingung, kecewa, marah dan sebagainya. Wanita itu menaruh sesuatu di hadapan gadis itu. Namun gadis itu tidak melihat dengan jelas karena air mata yang memenuhi pelupuk matanya. Wanita itu pun berlalu.
            Cahaya terang yang tadi membanjiri kini memudar. Berganti hembusan dingin dengan sinar sinar kecil yang terhias di langit. Rintik-rintik kecil mulai berjatuhan, membasahi bahu dan rambut gadis tersebut. Harum gundukan tanah di depannya menyengat masuk  ke hidungnya. Begitu harumnya sampai ia menahan napas untuk beberapa detik.
            “Ayo pulang” ajak ibunya lembut sambil membantu anaknya berdiri. Sebelum ia mencoba berdiri, ia terdiam menatap secarik kertas dan sebuah CD di hadapanya –yang terlihat sedikit buram di matanya- lalu mengambilnya dengan tangan yang bergetar. Semua berlalu dengan cepat.
***
            Dhifa sudah berada di rumahnya. Matanya sembab, namun ia sudah berhenti menangis. Ditatapnya kertas yang tadi diberi wanita itu. Lalu Dhifa membukanya. Ia tersenyum melihat pola tulisan yang terukir disana. Sudah tidak asing baginya. Perlahan ia membaca surat itu.
“Hai, kuharap kau baik-baik saja. Maaf aku tidak memberi tahumu. Maaf aku berbohong tentang kepindahanku. Selama ini aku terlalu takut bercerita tentang penyakitku. Waktu aku kelas empat SD, aku divonis mengidap penyakit leukemia. Dan selama satu bulan kemarin aku disuruh beristirahat.
Kau tahu? Selama aku dirawat di rumah sakit aku berpikir sesuatu tentang mimpimu. Maaf bila aku sok tahu. Tapi melihat kenyataan bahwa belum ada klub sepak bola yang menerima pemain wanita, kupikir kau bagus menjadi guru olahraga”
            Dhifa tertawa singkat kemudian lanjut membaca,
“Mereka pasti senang mempunyai guru yang baik, optimis, dan bersemangat sepertimu. Aku hanya menyarankanmu saja. Jangan terlalu dipikirkan. Berkatmu, aku jadi tahu apa yang aku impikan. Aku tidak ingin menjadi penyanyi, aku ingin menjadi pianis. Mendengar Ayahku bermain keyboard untuk menghiburku, aku jadi tertarik dengan hal itu. Aku membayangkan diriku di atas panggung dan aku bermain piano di atas sana, memainkan nada-nada cepat yang membuat otakku terasa ringan dan ingin mengukir senyum. Aku minta Ayah mengajariku beberapa nada sederhana dan kami bermain keyboard bersama-sama. Dan saat itulah aku sangat senang memulainya. Aku terus mencoba, suatu hari aku kesal karena permainanku tak sebagus Ayahku. Dan suatu hari aku memainkan beberapa nada asal, memperbaiki nada yang tidak sesuai, dan merangkainya menjadi kumpulan nada yang menurutku indah. Dan aku terseyum lebar hari itu. Aku ingin kau jadi orang pertama yang mendengarkannya. Aku bukan pianis handal. Permainanku belum begitu bagus. Tapi aku ingin kau menjadi saksi, bagaimana usahaku untuk meraih mimpi.
Terima kasih telah menjadi sahabatku.”
            Air mata menetes dengan mulus dari mata Dhifa, lalu cepat-cepat ia menghapusnya. Kemudian ia mengambil CD tersebut. Dengan gerakan cepat ia menuruni anak tangga dan memasukkan CD tersebut ke CD player.
            Dentingan satu nada panjang terdengar memenuhi rumah tersebut. Kemudian terdengar satu nada yang lebih tinggi lagi dari nada sebelumnya. Kemudian diam beberapa detik. Dhifa bisa menebak kalau Fahri memainkan pianonya dengan ragu dan kaku. Dia tersenyum tipis membayangkan wajah Fahri yang bingung dengan gerakannya yang kikuk. Kemudian terdengar nada-nada lain yang. Terdengar lebih teratur daripada sebelumnya. Seulas senyum terukir di bibir Dhifa, ia memejamkan matanya dan menikmati nada-nada sederhana itu menyusup kedalam telinganya. Ia membiarkan rasa hangat masuk kedalam dirinya dan menguasainya. Membiarkan ia mengingat kembali kejadian terindah dalam hidupnya. Aku tidak pernah sebahagia ini.

           

Wednesday, January 1, 2014

unknown



Tania berlari keluar dari gang rumahnya, sepatu hitamnya penuh lumpur, sebab semalam hujan deras sehingga jalanan di sekitar rumahnya menjadi becek. Topi, dasi, ikat pinggang hitam, hari ini tidak ada yang tetinggal sama sekali. Ya, hari ini hari Senin. Sudah terbayanglah, bagaimana ribetnya mon(ster)day itu.
            Tania turun dari angkot berwarna biru, kemudian kembali berlari menuju gerbang sekolah. Ia tengok ke langit-langit, bendera merah putih sudah meliuk-liuk diterpa angin. Ia berhenti melangkah, ia sudah tahu apa yang harus dia lakukan sekarang. Menunggu dibalik gerbang sekolah sampai upacara berakhir.
            20 menit? 30 menit? 50 menit? 60 menit?? Dari tadi Tania melirik kearah jam tangan berwarna kuning yang Ia pakai. “Pembina upacara meninggalkan lapangan upacara” suara itu terdengar dari dalam sekolah. Tania mengempalkan tangannya hatinya berseru ‘yes’
            Gerbang sekolah pun dibuka, Tania pun bergegas masuk ke dalam sekolah. Namun usahanya dicegat oleh seorang satpam. Membuat Tania berhenti melangkah, Ia berbalik menghampiri satpam tersebut. Lalu satpam tersebut menanyakan alasan keterlambatan Tania dan mencatatnya di buku piket. Setelah memberi salam, Tania bergegas masuk ke dalam kelasnya. Dilihatnya wajah teman-temannya penuh peluh.
            “Lo kok gak dateng pagi?” tanya Sarah, teman sekelas Tania. Sarah menatap Tania jengkel.
            “Lo tau kan, kebiasaan gue setiap hari Senin? Telat!” jawab Tania sambil duduk di bangku.
            “Tapi hari ini lo seharusnya jadi pengibar bendera, kan!” Kevin mengingatkan.
Hah? Tania tampak bingung, Ia tak mengerti.
            “Emang iya?”
            “Lo kan waktu itu disuruh Bu Eka buat jadi petugas! Lo lupa?” tanya Sarah. Ia gak habis pikir dengan temannya yang sudah kebelet pengen pikun ini!
            Tania hanya bisa membentuk mulutnya menjadi huruf O. Dan mengangguk-angguk tak berdosa.
            “Gimana pr matematikanya? Susah banget, ya!” Kevin mengganti topik. Mendengar kata matematika tiba-tiba ada sebersit kilat yang membara di dalam bola mata Tania.
            “Gue udah, tapi gue gak yakin sama jawaban gue” Akhirnya Tania menjawab.
            “Oh iya! Gue lupa ngerjain! Gimana, dong? Matematika pelajaran pertama lagi!” Sarah panik sendiri.
            “Hoo, jadi semalem lo gak ngerjain! Gara-gara jadi pembaca UUD 45, kan?” tanya Tania menebak.
            “Gak ngefek kaliii! Lagian lebay banget sampai segitunya!” Sarah menoyor kepala Tania pelan.
            Bunyi sepatu high heels Bu Tika terdengar memasuki kelas. Sarah menghela napas kesal, ia tertunduk di bangkunya. Guru muda nan cantik namun super galak itu berjalan berlagak kayak Megan Fox. Tania cekikikan sendiri.
            “Mudah kan pr-nya?” tanya Bu Tika. Anak-anak sekelas hanya bisa mengangguk-angguk.
            “Lupain aja pr-nya!” lanjutnya, senyuman puas mengambang dari mulut Sarah. Sorak gembira sekelas terdengar kencang sekali.
            “Mending kita ulangan aja!” Bu Tika menatap datar siswa-sisa yang ada di depannya. Kericuhan yang tadi sempat terdengar berubah menjadi keheningan. Mereka hanya menatap Bu Tika dengan penuh tanya.
Tok tok tok
            Bunyi hak sepatu Bu Tika mengganggu ketenangan Tania yang sedang mengerjakan ulangan.
            “15 menit lagi!” Bu Tika mengingatkan.
            Heelsnya berisik banget! –batin Tania.
            “Yang udah, kumpulin aja!” perintah Bu Tika.
            Cih!! Nakutin gue aja! –Tania membatin lagi.
            Sarah dan keempat teman lainnya mengumpulkan lembar ulangan ke Bu Tika. Sarah dengan percaya diri mengumpulkannya, kemudian kembali ketempat duduknya.
            “Lo udah?” bisik Tania kepada Sarah yang duduk didepannya.
            Sarah memutar kepalanya kebelakang, “Gue emang males sih ngerjain pr, tapi gue yakin kok nilai-nilai ulangan gue tetep bagus-bagus” jawab Sarah kemudian memutar balik kepalanya. Tania tertegun.
            Siapa yang tidak mengenal Sarah. Anak kelas 8-1 yang pintar, cantik, jago main biola, gitar dan piano, kebanggaan kelas.  Sedangkan Tania, murid kelas 7-5 –kelas paling ‘rendah’ harus mati-matian untuk naik kelas dan mendapatkan kelas 8-1. Ia memang harus meninggalkan sahabat-sahabatnya di kelas 8-5.
            “Nia! Lo bisa! Cewek sombong  gituan gak usah dipikirin! Please, elo bisa!” batin Tania bersemangat.
* * *
Jreng! Jreng!
Perhatian-perhatian! Ulangan matematika kelas 8-1 akan segera dibagikan! Harap tenang!
            Tania menghela napas kesal. Sorak-sorak gembira terdengar di depan sana, sekarang saatnya Tania menerima kertas pembawa sial itu. Senyum bodohnya muncul membaca tulisan merah padam di kertas itu. REMEDIAL.
            “Sar, nilai elo berapa?”
            “95! Elo?” tanya Sarah.
Deg!
            “Gue.... gue gak mau sombong soal nilai! Jadi... yah! Gue gak bakal kasih tau nilai gue! Maaf, ya!” lagak Tania, lalu Ia berjalan melenggak lenggok ke arah bangkunya.
            “Yang remedial! Ditunggu diruang guru pas istirahat, ya! untuk Ari, dan Tania! Oke!” pemberitahuan Bu Tika.
            Sial itu guru! Gak bisa kerja sama apa sama gue! –Tania mengutuk guru itu habis-habisan dalam hati.
            Sarah memutar kepalanya kebelakang, tampak Tania yang tengah sibuk membaca buku kimianya. Sarah hanya mendengus.
            Speak, doang! Gembel banget! Gak pusing apa baca buku kimia kebalik kayak gitu??” ujar Sarah sambil tertawa.
            Dibalik buku kimianya Tania merasa sangat malu. Ia terus menggigit bibirnya sedangkan hatinya terus memaki Sarah dalam diam. Selang beberapa menit, Tania baru sadar kalau buku kimianya terbalik.
            Kok gue jadi malu banget gini, sih! Harusnya tadi gue diem aja, gak usah nanya ke dia! –batin Tania.
            Kalo misalnya gue bisa, lo mau ngomong apa?! –Tania lagi-lagi membatin.
            “Kalo aja bisa! Kalo kagak?” suara itu terdengar dari mulut Ringgo. Ternyata dia sedang bercengkrama dengan temannya. Tania mengkerutkan keningnya. Tania tahu kalimat itu bukan untuknya, namun Ia tersdar bahwa kalimat itu tepat untuknya.
            Iya juga, ya! itu kalo gue bisa, kalo kagak? –pikir Tania. Wajah melasnya muncul ketika melihat Bu Tika menuliskan soal latihan di papan tulis.
            Kenapa gue harus belajar matematika, sih? Gue kan maunya jadi penulis! –batin Tania.
* * *
            Tania perang mati-matian saat istirahat kemarin. Soal matematika bagaikan makanan yang bakal membuat alerginya kambuh, tapi musti dia makan bulat-bulat. Mungkin matematika itu asupan penting untuk memenuhi kriteria empat sehat lima sempurna. Setelah selesai mengerjakan soal remedial, Bu Tika langsung mengkoreksinya dan membagikan hasilnya kepada Tania dan teman-temannya. Dan hasilnya.... dibawah KKM (Kriteria Kelulusan Minimal). Sedangakan Ari, mendapatkan nilai 85 setelah remedial.
            Bisa dibayangin, dari kelas Tania hanya dua orang yang remedial. Sedangkan kelas lain, banyak murid yang remedial.
            Intinya gue cewek bego, dong? –pikir Tania.
            Ah, engga juga, sih! Kalo di kelas gue, emang gue yang paling bego. Tapi mungkin kalo di kelas lain, gue itu paling pinter! –Tania berpikir ulang.
            Bel tanda istirahat berakhir terdengar memenuhi satu sekolah, pelajaran selanjutnya adalah bahasa inggris. Pelajaran kesukaan Tania, hehe. Walaupun tidak terlalu mahir berbahasa inggris, tapi Tania selalu menunggu pelajaran ini. Bu Indah, guru bahasa inggris pun memasuki kelas Tania.
            Good morning all!” sapa Bu Indah dengan ramah. Serentak murid-murid membalas salam tersebut.
            “Today I’ll give you a task! Please write down or if you can just imagine it, no problem for me! I want you to tell about your experience in front of the class. I give you 20 minutes from now! I’ll be back!”
Deg!
            Gue suka bahasa inggris, tapi gue gak terlalu bisa bahasa inggris! Gimana dong? –pikir Tania.
            “Bu, saya belum bisa bahasa inggris! Gimana dong, bu?” Tania mengangkat tangannya sebelum Bu Idah pergi keluar kelas. Tampang polosnya berhasil membuat mata anak-anak kelas tertuju padanya.
            Just do it!” perintah Bu Indah. Lalu melenggang keluar kelas.
            Tania dapat mendengarkan tawa cekikan dari bangku  di belakangnya, Ia juga melihat teman-teman di depannya yang mengobrol pelan sambil sesekali melirik ke arah Tania. Tapi Tania tidak peduli, itu bukan urusannya sekarang!
            20 menit pun berlalu, Bu Indah masuk lagi ke dalam kelas.
            “Finish?” tanya Bu Indah. Tanpa menunggu jawaban Bu Indah langsung berkata, “Okay, let me call you one by one”
            Tania tidak tenang, ceritanya hanya cerita singkat. Sedangkan teman sebangkunya menulis cerita yang hampir penuh sehalaman. Bukan cuma itu! Ia juga takut kualitas speaking-nya dianggap payah oleh teman-temannya.
            “Sarah!” pinta Bu Indah. Dengan percaya diri Sarah maju ke depan kelas.
            Dengan lantang dan lancar Sarah membacakan karangannya. Tania tidak begitu ngerti apa  yang diucapkan Sarah. Intinya, dia memberitahu bahwa waktu Ia SD, Ia pernah diajak ayahnya ke Singapura buat liburan. Habis ke Singapura, mamanya ngajak Sarah ke Thailand. Dan bla...bla...bla.... di telinga Tania itu terdengar seperti pamer pengalaman!
            Tania menghela napas. Tidak dapat dipungkiri, cewek yang sedang berdiri di depan kelas itu benar-benar sempurna!
            Thats all from me, thanks for your attention!” Sarah mengakhiri ucapannya.
            Semuanya bertepuk tangan meriah, Tania ikut-ikutan.
            Good job! Now, please choose one of them to be the next speaker!” perintah Bu Indah.
            Tania mulai gelisah, kakinya terus berdendang kencang.
            Sarah memperhatikan teman-temannya dengan gaya centil. Matanya menatap teman-teman di depannya secara bergantian. Tania susah payah menelan ludah, kakinya terus terhentak ke bawah. Caranya untuk menghilangkan rasa gelisah.
            “Peri kecil kita yang tengah gelisah! Tania!” mata Sarah tertuju pada Tania yang sibuk membaca ulang karangannya.
Betulkan!
            Dengan hati yang berdebar-debar Tania maju kedepan kelas. Ia menatapi wajah teman-temannya yang sepertinya tengah sibuk mengosipinya atau sekedar menertawainya.
            Tania pun mulai. Awalnya Ia masih terpaku teks, namun lama kelamaan Ia dapat melanjutkan sendiri ceritanya tanpa terpaku teks. Sesekali Ia melontarkan lawakan yang membuat teman-temannya tertawa.
            Fyuuuh! Tania menghela napas lega setelah mengucapkan salam penutup. Gemuruh tepuk tangan yang Ia dapatkan. Padahal awalnya Ia berpikir bahwa lawakannya bakal garing, ternyata teman-temannya tertawa dan Tania senang akan hal itu. Tania kembali ketempat duduknya, Ia tak beerhenti tersenyum hari itu.
            Gue gak setakut yang dulu! –batin Tania.

* * *
            Pr fisika Tania sudah selasai dikerjakan. Apapun hasilnya biarin aja! Jam beker di kamar Tania sudah menunjukkan pukul 11 malam. Tania pun menyiapkan buku-buku untuk besok.
            “Fisika, b indo, PAI, biologi.....” Tania membaca jadwal pelajarannya. Tania terdiam melihat tulisan BIOLOGI di jadwal pelajarannya.
            Biologi? Ohiya, besok ada biologi!–pikir Tania. Kemudian dia memasukkan buku-buku sesuai jadwal itu. Lalu Ia membuka lembar notesnya, setelah menemukan halaman yang Ia cari, Tania langsung membaca satu per satu tugas dan ulangan yang harus Ia lalui minggu ini. Matanya berhenti bergerak, Ia fokus terhadap satu tulisan capslock yang keciiil banget font-nya. Matanya memaku tulisan itu dalam otaknya. BIOLOGI ULANGAN.
            Ulangan!? –pikir Tania sekali lagi. Ia berpikir keras, apa itu guru pernah bilang ulangan??
            Tania membulatkan matanya empat kali lebih besar, mulutnya membentuk huruf O. Ia segera mengambil buku biologi dari tasnya dan berlari menuju meja belajarnya. Ia buka buku biologi bab 3.
            “Oke! Malem ini gak boleh tidur! Begadang!! Harus belajar! Hafalin! Hafalin!!” ujar Tania semangat sambil mengepalkan tangan.

* * *

Tik Tik Tik.
Jam beker Tania baru saja menunjukkan pukul 05.00 pagi.
Kring!! Kring!! Kring!!
            “Hoammmm!” Tania mengangkat kepalanya dan merenggangkan ototnya yang pegal. Ia melirik ke arah meja belajarnya. Buku biologi?
            “Ya Allah! Kok gue jadi ketiduran? Gue kan mau begadang?!!” teriak Tania kesal. ia buka lagi lembaran buku itu selanjutnya. Masih 16 halaman lagi!!??
            “Tania! Cepetan bangun! Terus mandi!” panggil Ibunya. Tania menghela napas kesal. ia ambil handuk dan membawa handuk itu ke dalam kamar mandi sekaligus buku biologinya.
            Tania bergegas mengambil tasnya dan berlari ke ruang makan sambil terus menghafal.
            “Pagi, bu!” ujar Tania kepada ibu yang tengah membawa semangkok sup ayam lalu di letakkan di atas meja
            “Tania!!!!” teriak Ibu kesal.
            “Apaan, bu?” tanya Tania panik.
            “Buku biologimu basah! Kamu apain?” Ibu marah.
            “Ooohh! Ini! Habis dibaca!” jawab Tania ringan.
            “Dibaca gak mungkin bisa basah gitu!” Ibu mulai curiga.
            “Belajarnya kan di kamar mandi” Tania memberitahu lagi, Ia terkekeh menatap Ibunya.
            “Ada ada aja kamu ini! Buku mahal tau, jaga baik-baik! Sampul sekalian” saran Ibu.
            “Iya, bu” jawab Tania malas, lalu kembali menghapal.
            “Cepet makan sana!” Ibu mengambilkan sepiring nasi untuk Tania.
            “Makasih, bu!”
* * *



            “Silahkan mengerjakan!” perintah Bi Ina, guru biologi.
            Tania baca perlahan soal-soal itu, keningnya berkerut melihat soal pertama. Pahanya saling bergesek-gesekan. Akhirnya soal pertama berhasil Ia jawab. Lalu gelisah menderanya, Ia tak mau mengecewakan Ibu lagi. Ia harap nilai matematika yang kemarin menjadi nilai jelek terakhir selama hidupnya.
            Sesekali Tania melirik ke bangku di sampingnya. Temannya itu mengerjakan dengan tenang, tanpa hambatan. Pulpen hitam itu terus menari di lembar jawabannya. Terbesit niat licik di kepala Tania. Keadaan sedang sepi, dan Bu Ina hanya duduk di meja guru sambil mengkoreksi nilai kelas lain. Dan posisi lembar jawaban teman sebangkunya itu yang dapat dengan mudah Ia lihat.
            Tania tersadar, lalu Ia menggelengkan kepala. Ia menolak mentah-mentah ide licik itu. Tapi di sisi lain Ia lelah harus remedial terus menerus. Tania menarik napas lalu menghembukannya perlahan. Ia menenangkan dirinya, berharap ide yang hanya membuat Ibunya tambah kecewa itu lenyap seketika tak berbekas.
            Ia mengambil pulpennya lagi, bersiap menjawab pertanyaan selanjutnya. Tapi Ia sadar, Ia tidak tahu sama sekali jawaban soal itu. Hapalannya musnah dalam sekejap, Ia hanya menjerit kesal dalam hati. Sesekali Ia melirik lagi teman sebangkunya itu. Ide licik itu datang lagi.
“Huffttt, sabar, Nia.....” Tania membatin.
* * *

            65! 65! 65!
            Tania tertunduk kesal, nilai ulangan biolonginya dibawah KKM  lagi!
            Coba gue sekelas sama sahabat-sahabat gue! Nilai segini bakal jadi nilai tertinggi –batin Tania.
            “Nilai elo berapa?” Sarah menghampiri Tania.
            “Elo?” Tania tanya balik.
            “Nilai gue...” Sarah menjawab.
            “Udah! Udah! Gak usah! Ngapain gue nanyain nilai lo!” potong Tania kesal.
            “Yailaah! Lu yang nanya juga! Aneh, lo! Tapi ada benernya juga, sih! Buat apa lo tanya, nilai gue emang selalu begitu!” Sarah meninggalkan Tania.
            ‘Begitu’? hoo ‘begitu’ itu maksudnya nilai dia selalu bagus? Hoo, menurut gue nilai dia gak seberapa bagi gue! Palingan beda dikit! –batin Tania, tanpa sadar Ia mendengus kencang.
            “Sedikit itu seberapa? 20? 30?” Suara Ringgo terdengar sampai meja Tania, Ringgo sedang ngobrol ria dengan temannya saat itu. Tania mengkerutkan keningnya. Lagi-lagi kalimat itu memang bukan buat dia, tapi selalu saja tepat dengan jalan pikiran Tania.
Jleb!?
            Sialan banget si Ringgo! Kenapa setiap apa yang gue pikirin, pasti dia tiba-tiba ngomong yang pas banget buat ngejek pikiran gue? Dasar! –batin Tania kesal.

* * *

            “Bu, aku mau masuk sekolah menulis aja deh, Bu!” rengek Tania.
            “Pas TK sama kelas 1 SD kan udah?” tanya Ibu.
Hah?!
            “Bukan, Bu! Sekolah.... ya! pelajarannya itu mengarang, belajar ilmu bahasa yang gak berhubungan sama sekali sama matematika! Gitulah, bu! Aku mau sekolah sastra!” Tania memperjelas maksudnya.
            “Nak! Kamu mau tau gak kenapa kita harus belajar matematika?” tanya ibunya. Tania hanya manyun lalu menggelengkan kepalanya pelan.
            “Nia! Percuma kamu nanti jadi penulis terkenal tapi gak bisa ngitung! Kamu bakal ditipu! Nih, contoh kecil aja! Kamu beli mangga 1 kilo 12 ribu, terus beli jeruk 1 kilo 5 ribu! Tapi kamu gak bakal tau kan harus ngasih uang berapa? Makanya matematika itu perlu!” jelas Ibu panjang lebar. Tania hanya diam.
            “Kamu juga gak bakal sukses kalo kamu tetep mikir kayak gitu!” sahut Ibunya.
            “Yaampun, Bu! Itumah matematika gampang! Emang ngitung duit pake aljabar? Terus ngapain pake nyari x dan y? Orang tiap hari ketemu kok sama kedua huruf itu! Sejak kapan x dan y sama dengan angka! Terus buat apa kita....” Tania mengungkapkan kekesalannya panjang lebar.
            “Tania, stop!” Ibu memandang Tania dengan datar. Kalimat terakhir Ibu mampu membuatnya terdiam, dan hanya bisa menundukkan kepala.
            “Sekarang kamu bisa bilang, pelajaran kayak gitu gak penting, tapi suatu hari kamu bakal butuh.... walaupun nanti kamu SMA milih jurusan IPS atau Bahasa, sama aja kamu bakal ketemu matematika!” Ibu berbicara dengan cepat, emosinya meningkat. Setelah mengucapkan kalimat terakhir, Ibu menghela napas. Mengatur emosi. Tania masih terdiam.
            “Kamu bukan gak bisa, tapi belum bisa” suara Ibu berubah menjadi lembut, seperti menahan emosi, “Kamu gak bisa selamanya nyalahin keadaan karena ketidakmampuan kamu menjalani keadaan itu. Sesekali kamu harus liat dari diri kamu, apa yang salah dari kamu?” Air mata Tania sukses mengalir dengan mulus. Ia membekap wajahnya dengan kedua tangannya. Ia lelah. Lelah menerima keadaan bahwa usaha kerasnya selama ini untuk mendapatkan nilai bagus hanya sia-sia.
            Berkali-kali remedial yang harus Ia lalui. Mengulang kembali pelajaran yang sudah lewat padahal Ia juga harus mempelajari bab yang dibahas selanjutnya. Mengejar guru hanya untuk mendapatkan nilai tambahan. Begadang sampai jam dua pagi untuk menyelesaikan pr yang tidak berhasil Ia temukan jawabannya. Melihat teman-temannya yang tersenyum senang sambil pamer-pamer nilai. Tersiksa karena selalu terbesit ide licik setiap kali ulangan! Di sisi lain Ia mengharapkan niali bagus, namun di sisi lain Ia gak mau melakukan hal gak pantas kayak gitu.
            Ibu merangkul bahu anak semata wayangnya itu sambil mengusap bahunya pelan. Keadaan memaksa Ibu untuk menjadi single parent, karena suaminya sudah meninggal dan Ia harus berkerja keras, Ibu jadi jarang berkomunikasi dengan Tania. Gadis kecilnya kini bertambah dewasa, Ia bukan lagi anak kecil yang duduk manis sambil menunggu permen lolipopnya datang lalu bercerita tentang teman-temannya di taman kanak-kanak. Anaknya kini lebih menutup diri, menyelesaikan masalahnya sendiri. Sering kali Ibu mendengar Tania menangis di balik pintu kamarnya. Dan keesokkan harinya Tania enggan bercerita dan hanya tersenyum simpul.
            “Tapi ada untungnya loh remedial” Ibu berusaha menenangkan, “Remedial berarti kan kamu ngulang pelajaran yang lalu, jadi nanti pas UN kamu gak perlu belajar mati-matian!” Tania tertawa. Senang rasanya dapat melihat tawa bahagia dari anaknya itu.
            “Sekarang kamu lalui aja dulu yang ada, suatu hari nanti usahamu pasti terbalas. Ibu yakin! Kamu harus terus berjuang! Ibu pikir hambatan yang membuat kamu sulit nerima suatu pelajaran itu... kamu kurang ikhlas menjalankannya” Tania terdiam, mungkin benar apa yang dikatakan Ibu. Selama ini Ia hanya menganggap matematika itu pelajaran yang gak penting dan gak seru! Selama pelajaran matematika di sekolah pun, Tania ogah-ogahan mendengarkan penjelasan yang membutuhkan konsentrasi ekstra itu. Tania mengangguk, Ia mengerti sekarang. Ia memeluk Ibunya erat malam itu.
* * *
           
            Mungkin memang Tania tidak sehebat Sarah, Tania sadar benar akan hal itu. Hari ini pengambilan rapor semester ganjil. Tania menunggu di luar kelas, menunggu Ibunya untuk tersenyum bangga terhadap nilainya. Tania terus berdoa, di hatinya hanya ada satu harapan untuk saat ini, yaitu Ibunya keluar sambil tersenyum lebar melihat nilai rapornya.
            Ibunya pun keluar dari kelas Tania sambil terus tersenyum lebar.
            “Bu, gimana nilai Tania?” Tanya Tania tidak sabar.
            “Lumayan” jawab Ibu. Tania mengambil rapornya dari tangan Ibunya. Senyuman tipis diukir manis oleh Tania, matanya memerah. Lalu air matanya jatuh. Cepat-cepat Ia menghapusnya.
            “Hanya kurang maksimal! tingkatkan lagi, ya Tania!” Ibu menyemangati.
            “Ibu pikir aku nangis gara-gara nilaiku tetep kecil? Gak kok, bu! Aku nangis liat nilai aku naik satu angka, bu! Walaupun cuma beberapa, Tania udah seneng kok, bu!” Tania memperlihatkan nilai-nilainya yang naik kepada Ibunya lalu Ia memeluk ibunya erat-erat.
            Semoga hari esok lebih baik lagi!
* * *
            “Nia, happy birthday, ya! semoga karya-karya elo jadi karya yang dinanti-nanti banyak orang!” Sarah mengulurkan tangannya, Tania menyambutnya dengan senang.
            “Hadiah buat lo! Semoga lo suka!” tambahnya sambil menyodorkan sebuah hadiah  yang dibungkus kertas kado warna kuning.
            Thanks, ya!” ujar Tania senang.
            “Gue balik dulu, ya! gue udah ditunggu dosen gue, nih dikampus! Bye!” Sarah keluar dari rumah kos yang ditempati Tania dan segera memasuki mobilnya.
            Tania menghela napas lega. Setelah lulus SMA, Sarah melanjutkan kuliahnya di Jakarta. Ia memilih jurusan kedokteran. Tania ikut senang, akhirnya Sarah bisa masuk universitas yang Ia dambakan. Sedangkan dia sendiri? Tania memilih untuk tidak melanjutkan kuliahnya. Keadaan memaksanya untuk tidak kuliah, setidaknya untuk setahun kedepan saja. Tahun depan Ia bertekad masuk UI fakultas Sastra Indonesia. Ia harus bekerja menghidupi dirinya sendiri. Ia bekerja di sebuah toko roti sebagai pelayan. Disisi lain, ada yang lebih membuatnya lebih senang. Walaupun belum kuliah, Ia sudah berhasil menerbitkan satu buku novel hasil karyanya. Memang bukan buku best seller, namun bukan berarti tidak ada yang membeli bukunya, kan?
Tania memandangi mobil merah yang sudah melesat cepat meninggalkan rumah kos-nya itu. Lalu matanya menerawang, menatap awan di langit yang berserakan.
“Takdir orang berbeda-beda, ya. Makanya semua orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Coba semua orang di dunia ini berpikir pengen jadi dokter, terus semua orang jadi dokter! Terus siapa pasiennya?” Tania tertawa renyah. Akhirnya Ia percaya dengan Ibunya, bahwa segala usahanya pasti akan dibalas! Walaupun bukan hari itu juga.
“Yang penting berusaha keras, sabar, ikhlas, dan tetap tersenyum!” Tania mengingat kembali kalimat terakhir yang di lontarkan Ibunya sebelum ajal menjemput. “Tapi Ibu kurang satu hal....”
“ Doa!” ujar Tania sambil tersenyum manis.



Selesai :)) ini nih penyakit gua! bikin cerita tapi gak tau judul -__-  sebenernya ceritanya biasa. asli biasa banget. tapi gua suka, soalnya ini cerita panjang yang berhasil gua selesain wkwk. gua sering bikin ginian, tapi gak pernah selesai. ngegantung, bikin yang lain -__- intinya gua gampang move on (?) udah ah, selamat membaca ^,^